15 June 2011

Makhluk Berkaki Enam

Besok Adi ulangan. Jadi, malam ini Dush menemaninya belajar IPA.

Dush - Bang, binatang apa yang kakinya 6?
Adi - Kerengga.
Dush - Jawab yang benar. Main saja!

Alih-alih menjawab, Adi pergi. Tak berapa lama ia kembali.
Adi - Ini. Ku ambil tadi dipohon Jambu belakang rumah. Kakak hitung kakinya ada berapa? (Adi menunjukkan semut kerengga yang meronta-ronta dalam jepitan jempol dan telunjuknya)
Dush - (mengambil kerengga ditangan Adi) Satu... dua... tiga... empat... lima... enam...
Adi - Ada enam kan kakinya? (tersenyum pongah penuh kemenangan)
Mamak+Eles - Huuu! Kalah lawan Adiii!
Dush - *&^%$#@!_)+(*&

Rentenir Hijau

Siang, di sekolah. 
Dush - Bang, pinjam duit, dong. Kakak haus.
Adi - Berapa?
Dush - Seribu.
Adi - Ini (menyerahkan duit).

Malamnya, di rumah.
Adi - Kak, bayar utanglah.
Dush - Tunggu.
Adi - Cepatlah. Aku mau nabung, nih. Aku ambil di dompet, ya?
Dush - Iya. (sibuk dengan remote TV)

Beberapa jam kemudian, di rumah.
Dush - Baang! Kok duit kakak yang lima ribu nda ad? (mengacungkan dompet ke Adi yang sedang menggambar)
Adi - Iyalah. Udah aku ambil untuk bayar utang kakak.
Dush - *&^%$#(*^$#$%%


Adik kecilku sudah jadi rentenir sejak masih hijau. Apa kata duniaaaaaaaa??!!

12 June 2011

Ramadhan di Surga


Bunyi benda bergetar-getar didekat telingaku membuatku terkesiap bangun. Ada sms masuk. Tengah malam?
              “Kurang kerjaan banget, sih?!” sungutku. Dengan malas, kuambil handphone yang masih bergetar-getar. Dari adikku. Aku mendesah kesal karena tidurku terganggu. Dengan mata setengah terpejam dan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul, kucoba membaca smsnya.

Kak, bpk RS. Ga ush khawatir, bpk baik2 ja. Kk tak perlu plg.Udh y.
Sender: 3rd Balis
+6285678910111
Message center: +62816124
Sent: 01:20:21 am
Dalam hitungan milidetik, saraf mataku mengirimkan sinyal ke otakku, lalu menendang saraf otak bagian emosiku dengan sangat keras. Menerajang pintunya sampai terpelanting-pelanting, bergetar-getar ddisudut ruangan, lalu diam dalam keadaan sangat penyok. Aku cemas. Sangat cemas. Nyawaku terkumpul segera. Bergegas, kuhela selimut lalu berjalan tergesa menuju kamar mandi. Wudhu. Aku ingin meminta kepada Dia Sang Pemilik Dunia untuk menjaga bapak, melindunginya.

Kutatap sosok yang terbaring dengan beberapa selang ditubuhnya. Sosok itu, bapakku, terbaring lemah diruang ICU dengan alat monitor yang berbunyi teratur tit-tit-tit. Aku benci alat itu! Ia seperti hakim yang kapan saja bisa mengetok palu keputusannya atas bapakku dengan cara menjerit panjang. Kuhapus airmataku, melanjutkan membaca Al Qur’an yang tulisannya kelihatan kabur sekarang.
Teringat lagi adegan tadi siang, saat aku menangis setelah mengeluarkan bentakan tertahan pada mamakku.
              “Pamitlah, kak. Pamit sama bapak. Ucapkan maaf dan terimkasih padanya.” Aku tak melihat wajah mamakku tapi aku tahu ia menangis, tanpa suara.
              “Ga mau!” seruanku tercekat dikerongkongan. Wajahku seketika basah mendengar kata-kata mamak yang terdengar pesimis.
              “ Bapak takkan bisa bertahan, kak. Keadaan bapak makin buruk. Pamitlah sebelum terlambat.”
              “AKU GA MAU!!!” bentakanku tertahan tangis. Aku berlari keluar. Aku tak mau memberikan ucapan itu. Tidak! Aku takkan menyerah! Bapak akan sembuh dan aku akan menikmati Ramadhan ini bersamanya. Bapak akan sembuh. Aku tak perlu mengucapkan selamat jalan padanya.


Aku terlonjak kaget ketika nama bapakku sayup-sayup  diterima saraf telingaku. Mamak meloncat berdiri dan berlari masuk ruangan ICU mengikuti perawat yang barusan memanggil. Aku menyusul dengan perasaan yang sangat tak nyaman. Jantungku serasa balon yang diisi udara dengan paksa sampai mau meledak. Saat aku masuk, kudengar jeritan mama, memanggil bapak berkali-kali, memintanya bangun. Bapak bergeming. Mamak histeris. Diguncang-guncangnya tubuh bapak sambil meraung. Dengan berlari kudatangi ia. Kutarik tubuhnya kedalam pelukanku. Kupeluk ia erat-erat sambil memintanya beristighfar. Airmataku mengalir jatuh dengan deras. Innalillahiwainnailaihiroji’un. Ya Allah, terimalah bapakku dan tempatkan ia bersama orang-orang yang beriman. Kupeluk tubuh mamakku yang tersedu-sedu lebih erat. Berusaha menenangkan dan berbagi beban. Sayup, suara azan subuh menerobos dari celah pintu ruangan ICU. Subhanallah. Bapak pergi diiringi panggilan suci itu, pada Ramadhan ketiga.


Sekarang, hari pertama ramadhan. Aku berkunjung ke rumah bapak. Kulantunkan do’a. kubersihkan rumahnya dari rumput-rumput kecil yang tumbuh. Kupandang nisan penuh rindu. Dua tahun berlalu dan rindu itu masih sama besarnya, menyelimutiku dari hari ke hari. Aku rindu melihatnya tertawa sampai keluar airmata saat ia menonton acara lawak favoritnya. Aku rindu gurauannya. Aku rindu nasi goreng buatannya. Aku rindu mencium punggung tangannya. Aku rindu dia.
Kutebarkan bunga Melati kesukaannya diatas gundukan yang sekarang menjadi rumahnya. Sambil tersenyum, aku berbisik “ Selamat menikmati ramadhan di surga, pak.”

11 June 2011

The Intruder

Kenal Raditya Dika? Udah pernah ketemu? Ada yang bilang, Raditya Dika itu pendek dan kaya banci. Karena ingin membuktikan, aku ingin ketemu. Kesempatan itu akhirnya datang saat sebuah produk mengadakan kegiatan seminar dan mendatangkan Raditya Dika sebagai pembicaranya.

Ya! Kemarin siang, Radit akhirnya mampir dikampusku. Karena menyangka bakal telat 2 jam kaya seminar sebelumnya, aku menelatkan diri. Ternyata pas datang, orang-orang udah pada bejubelan kaya antri raskin. Ramai banget berdempet-dempetan, berbagi udara yang udah terkontaminasi bau mulut, bau ketek, bau kaki. Daaan, karena datang telat, dapat antrian paling akhir, sementara jatah peserta cuma 400an, aku ga dapat tempat!

Aku dan dua temanku akhirnya berencana menyelinap lewat jalan lain yang ga ada panitianya. Ah! Ini semua gara-gara ingin dapat ilmu. (Bohong!)

Seperti maling, kami mengendap-endap menuju lantai 3 rektorat tempat seminar diadakan. Dan sepertinya, hanya aku yang sudah mirip maling profesional. Biar ga ketahuan dan berasa keren kaya film-film detektif, aku ingin menyamar. Awalnya aku punya niat menyamar jadi sekuriti. Tapi karena ga ada sekuriti yang mukanya memelas dan penuh penderitaan kaya aku, rencana tersebut dibatalkan. Terbersit niat menyamar jadi Raditya Dika. Ga jadi. Raditya Dika kan katanya gendut dan pendek. Sementara aku tinggi langsing. Panitia bakal langsung tahu!

Akhirnya, dengan tampang seadanya kami menyelinap. Ketemu panitia! Aku berusaha merapal mantra untuk ber-disapparate. Ga berhasil. Ngumpet di toilet. Ga tahan lama-lama kongkow bareng penunggu-penunggu toilet, aku sebagai  satu-satunya yang mirip maling profesional disitu mengambil alih keadaan. Aku ajak teman-temanku berkumpul dilingkaran, memberi instruksi.

"Kita harus masuk. Demi ilmu! Pasang muka lugu. Biar panitia ngira kita punya izin masuk. Siap ya?! Eh, tarik nafas dalam-dalam dulu. Satu, dua, tigaaa... jalan!"

Dan berjalanlah tiga orang dengan muka lugu tanpa dosa (satu orang kelihatan lebih kaya orang menderita) menuju lantai 3. Panitia tak ada yang curiga (Sukses!). Celingak celinguk ke dalam ruangan. Gila! Penuuuh. Tempat untuk berdiri juga hampir ga ada. Ini seminar apa konser?! Ah, ga apalah. Duduk diluar aja. Yang penting kan dengar Radit ngomong. Cuma ingin dapat ilmunya iniii. (Dusta!)

Dan akhirnya, pengorbanan ngantri dan kecerdasan jadi maling berbayar lunas. Kami bertiga bisa masuk dan duduk dan dapat ilmu dan eh, liat Radit. Hehe. Dia biasa ,but yeah, tapi luar biasa . Wajarlah kalau temanku sampai maksa-maksa minta aku foto bareng Radit segala. Aku menolak dan bilang, "Ga ah!Gengsi! Takut ketauan naksir."

Well, this is it, my yesterday's experience.  Btw, thanks Raditya Dika buat ilmunya. Aku sedang belajar membuat tulisan dengan persepsi unik nih. Wish me luck! Ciao.