20 July 2011

BLC - BETUNG


BETUNG
(Diikutkan dalam BLC)
Air dari pancuran bambu di belakang rumah berkecipak menimpa batu-batu. Sayup-sayup, suara azan dari masjid di hulu kampung terdengar diantara suara Uwar dan Tita yang sibuk dengan bambu besar yang tergeletak dekat semak-semak kemunting yang berbunga ungu.
“Bukan begitu caranya,” protes Uwar. Tangannya tak sabar ingin mengambil alih pisau seraut yang berujung runcing dari tangan Tita.
“Bang Radi buatnya begini kok,” sahut Tita acuh. Ia terus berusaha melubangi kulit tebal bambu - 5 jari jaraknya dari pangkal - dengan seraut.
“Kalau kau memegang serautnya begitu, tanganmu bisa luka,” seru Uwar was-was.
“Ah, sudahlah. Kau diam saja.”
“Titaaa!” terdengar suara bapak memanggil dari rumah. “Sholat Ashar dulu!” seru bapak mengingatkan.
“Iya, pak. Sebentar lagi,” Tita berteriak menyahut.
“Kau sholatlah. Biar aku yang melubanginya,” Uwar berusaha mengambil seraut di tangan Tita.
“Jangan. Nanti aku kalah,” Tita menepis tangan Uwar.
“Bang Radi kan lagi di rumah nenek. Dia tak akan tahu.”
“TI-DAK! Kata ibu tak boleh bohong. Nanti Tuhan marah.”
Uwar hanya bisa memandangi Tita sambil mengerucutkan bibirnya.
***

Matahari hampir tenggelam di balik hutan. Sebentar lagi maghrib. Uwar sudah pulang. Tita masih saja sibuk dengan bambunya di beranda belakang.
            “Tita,” ibu tiba-tiba muncul dari balik pintu dapur.
            “Nggg,” gumam Tita tanpa mengalihkan pandangannya dari bambu.
            “Teman-temanmu mau ke masjid. Mereka menunggu di depan,” kata ibu lagi.
            “Tita sholat di rumah saja, bu,” sahut Tita tanpa menoleh.
            “Sebentar lagi Ramadhan, lho. Allah lebih sayang pada orang yang sholat ke masjid. Ayo, ibu juga mau ke masjid.”
            Tita menghentikan pekerjaannya dengan enggan. Diletakkannya seraut. “Tita wudhu dulu,” katanya seraya bergegas menuju pancuran di belakang rumah.
***

Sepuluh hari lagi Ramadhan. Setiap Ramadhan, kampung itu akan dipenuhi bunyi letusan-letusan betung dari hampir setiap rumah. Meriam dari bambu itu memang selalu ada di bulan puasa. Selain berbuka, menyalakan betung adalah hal yang membuat Tita tak sabar menunggu bulan puasa datang.
Seminggu yang lalu, sebelum pergi ke rumah nenek, Radi menantang Tita untuk membuat betung tanpa bantuan siapapun. Kalau betung itu sudah jadi saat Radi pulang, Tita akan mendapatkan teropong bagus milik abangnya itu. Dari dulu, Ia ingin sekali memiliki teropong itu.
Mendapat teropong dan punya betung sendiri membuat Tita menerima tantangan walau ia tak tahu cara membuatnya. Uwar, satu-satunya anak dari keluarga bukan islam di kampung itu berusaha membantu. Dengan tegas Tita menolak. Ia hanya mengizinkan Uwar menemaninya. Menemaninya menggergaji bambu di hutan dan melubangi bambu itu.
Saking sibuknya dengan betung, Tita sering telat sholat, bahkan beberapa kali meninggalkan sholat. Dan malam ini, ia absen mengaji di masjid. Tita pulang duluan dengan obor di tangan, berlari sendirian meninggalkan teman-temannya yang sibuk belajar untuk ikut tadarusan bulan puasa. Ia ingin menyelesaikan betungnya yang hampir jadi.
***
Suasana sore di kampung kecil itu begitu semarak. Suara orang-orang dewasa yang sedang bermain voli di belakang sekolah terdengar riuh. Di lapangan sepakbola depan sekolah, suara anak-anak yang sedang bermain kasti, main tapok kaleng, dan main kelereng menggema sampai ke hutan yang mengelilingi kampung.
Sementara itu, di belakang sebuah rumah yang dibatasi kebun pisang, tak jauh dari sekolah, dua orang anak berkutat dengan bambu sepanjang setengah meter. Tita membawa pelita di tangannya. Uwar menyusul di belakang sambil membopong betung.
            “Di sini saja,” kata Tita sambil menunjuk dahan pohon patah yang tergeletak dekat semak kemunting di belakang rumah.
            Uwar meletakkan ujung betung di atas dahan pohon patah tadi. Ujung betung memang harus lebih tinggi dari pangkalnya agar minyak tanah yang nanti dimasukkan ke dalamnya tidak tumpah.
Tita memasukkan minyak tanah dari dalam pelita ke dalam betung melalui lubang kecil yang dengan susah payah dibuatnya. Ia menyalakan pelita. Mengambil ranting kecil di dekatnya lalu menoleh kearah Uwar.
“Kau sudah siap?”
Uwar mengangguk bersemangat.
Tita mencocol ujungranting di tangannya ke dalam minyak tanah di dalam betung. Ia bakar ujung ranting dengan api pelita lalu memasukkan ujung ranting yang menyala itu pada lubang.
Bussshh! Tak ada suara letusan. Asap keluar dari ujung betung.
“Harus pemanasan dulu,” kata Tita berusaha menghibur dirinya sendiri.
“Ya, ya,” Uwar tersenyum menyemangati.
Sekali lagi, Tita mencocol ujung ranting ke dalam minyak tanah lalu membakarnya dengan api pelita dan memasukkan ujung ranting dengan api menyala-nyala itu pada lubang betung.
Bruuuuttt! Sedikit seperti letusan. Asap masih keluar dari ujung betung.
“Horee! Tadi hampir meletus,” sorak Tia. “Kau mau mencobanya?” Tita menyorongkan ranting pada Uwar.
Uwar mengambilnya, mencocol ujung ranting pada minyak tanah, membakarnya pada api pelita lalu memasukkan ujung ranting berapi itu pada lubang.
            DUAARR!
Tita melonjak gembira saat betung itu meletus keras, menggema di penjuru hutan kecil belakang rumahnya. Berhasil! Ia berhasil membuat betung tanpa bantuan siapapun. Uwar tertawa gembira lalu mulai menyalakan api pada ranting lagi. Suara letusan lebih keras terdengar saat api pada ujung ranting itu memasuki rongga betung yang terisi minyak tanah. Tita dan Uwar bersorak- sorai gembira.
            “Aku lagi… aku lagi,” seru Tita seraya merebut ranting di tangan Uwar. Uwar menggeser tempat duduknya, memberi tempat untuk Tita.
            Buuussshh! Suara seperti knalpot mampet itu membuat Tita terperangah.
            “Kok tak ada letusan?! Tadi kan meletus,” protesnya. Dicobanya sekali lagi.
            Bruussshhh! Suara knalpot mampet lagi. Kesal, ditiup-tiupnya lubang pada betung. lalu tiba-tiba terdengar bunyi letusan keras disertai teriakan Tita.
            “Ibuuuuu!” teriak Tita menangis. Wajahnya terasa panas bukan main. Matanya juga sakit. Ia tak memperdulikan seruan-seruan panik Uwar.
            “Astaghfirullah, Titaaa,” ibu berlari tergopoh-gopoh menuju Tita. “Kenapa kamu, nak?”
            “Tita kena api betung, bik. Api dari dalam betung keluar, kena muka Tita,” Uwar berusaha menjelaskan.
            “Inilah akibatnya tidak mendengarkan omongan orang tua,” omel ibu sambil mengangkat tubuh Tita. Tangisan Tita makin keras. “Sudah. Jangan menangis lagi. Malu diliat Uwar,” kata ibu seraya membimbing Tita yang tersedu-sedu pulang.
***

Tita memandang cermin. Ada wajah dengan alis hampir tak ada di sana. Api betung itu membakar alisnya. Bekas-bekas merah juga masih terlihat di wajahnya. Diingatnya omelan ibu tadi. Omelan karena kebohongan-kebohongannya pada ibu. Ternyata, ibu tahu kalau ia meninggalkan sholat dan tidak mengaji. Ibu tahu semuanya dan menunggu. Menunggu saat yang tepat untuk membuat Tita sadar apa yang ia lakukan itu salah. Tita menatap alisnya yang hilang sambil sesenggukan. Dalam hati berjanji tak akan berbohong lagi.

4 July 2011

Fantasi Fiesta 2011: Pintu Dunia-dunia



 “Aaaaaaaaa!!” Aku bahkan bisa tuli mendengar teriakanku sendiri. Tapi rasa tuli tak sebanding dengan rasa takutku sekarang. Tubuhku terlempar dan terhempas pada dataran batu raksasa, keras dan licin. Aku mencoba mencari pegangan agar tak kembali terlempar dan terhempas pada dataran batu-batu raksasa lain yang seperti berlarian, berkejaran. Tak ada celah sama sekali untuk berpegangan. Aku telah terlempar dan terhempas entah untuk yang keberapa kali. Tubuhku sakit, suaraku hilang dan kesadaranku hampir habis. Aku mati sekarang. Aku mati.
“Ruan… Ruan…” gelap.
***
            Aku tergesa menghabiskan madu makan siangku. Lonceng dari Kubah Besar sudah berbunyi tiga kali, pertanda semua penghuni Raindell yang bertugas hari ini harus segera turun ke bawah awan untuk mengumpulkan uap. Kusesap madu terakhir lalu bergegas membuka pintu kubah putih, kamarku. Aku melompat turun ke awan terdekat, melayang mendekati kubah abu-abu berbercak-bercak hitam seperti kain bernoda.
Langit kelabu kebiruan. Sinar matahari berpendar menimpa sosok-sosok berkulit seputih awan, berambut abu-abu dan mata bulat dengan bola mata berwarna-warni terang yang keluar dari kubah-kubah berbagai ukuran dan warna yang tersebar di langit, di atas awan-awan. Mereka Raindish, makhluk hujan atau dikenal juga dengan pengumpul uap, penghuni Raindell. Mereka keluarga dan teman-temanku. Aku melompat dari awan yang tadi kutumpangi saat ia tepat berada di depan pintu kubah bernoda itu.
            “Ruan!” teriakku memanggil. Hening. “Ruan! Ketua Anuari sudah memanggil. Kita harus mengumpulkan uap!” kugedor pintu kubah. Masih diam. “Ruaaannn!” kubah itu bergoyang sedikit karena tendangan kerasku di pintunya.
            Terdengar bunyi krasak-krusuk di dalam kubah. Beberapa detik kemudian, muncul seorang anak laki-laki bermata biru. Mulut cemongnya masih mengunyah-ngunyah.
            “Eheh. Mahaf, Phul. Haku edhang mhakhan.” ia keluar kubah dan menutup pintu tergesa-gesa.
            “Selalu saja terlambat.” omelku. Ia memberiku cengiran lebar dan kerjapan-kerjapan mata. Kalau sudah begitu, mau tak mau kesalku menguap. Kutoyor kepalanya, “Jangan sok polos begitulah.” ia terkekeh pelan.
            Ia Ruan, sepupuku dan sahabatku. Kami selalu bersama. Agak aneh memang, mengingat setiap kali kami bersama, kami tak pernah akur. Ia selalu membuatku marah-marah. Kami selalu punya ide konyol untuk dilakukan. Sesuatu yang terkadang membahayakan bukan hanya keselamatan kami, tapi keselamatan seluruh Raindell. Yeah, kami mitra dalam kejahatan.
            Aku seringkali mengingkari hal ini, berfikir kalau aku ini adalah malaikat yang tak suka membuat masalah. Tapi, sekuat dan sesering apapun aku mengingkarinya, pada akhirnya aku menemukan kami berdua sama saja. Pembuat masalah.
            Dan sekarang, kami di sini, melayang-layang di bawah awan, menunggu uap-uap yang ditiup naik oleh para Poirish di lautan. Uap yang harus kami angkut naik ke atas awan di bawah kubah-kubah kami agar nanti turun kembali menjadi hujan. Kami memang harus mengangkut uap-uap itu karena ada semacam lapisan udara di bawah awan yang tak tertembus uap.
Kau tahu apa akibatnya kalau kami tak mengangkut uap-uap ini kan? Tak ada hujan. Kalau tak ada hujan, daratan akan kekeringan. Sahabat-sahabat kami, semua makhluk penghuni daratan akan menderita dan mungkin saja, mati. Hujan begitu penting dan tugas kamipun menjadi maha penting.
            “Hai, Plur, Ruan.” seorang anak lelaki seumuran kami melayang di sampingku, menyunggingkan senyum lebarnya. Mata oranye-nya berbinar-binar. Han, teman sekelas kami.
            “Hai, Han.” Aku dan Ruang menyahut kompak.
            “Gembira sekali, Han?” tanya Ruan.
            “Kami akan ke daratan setelah mengumpulkan uap. Ada pesta besar di sana.” jawab Han riang.
            “Pesta besar? Semua makhluk berkumpul?” tanya Ruan lagi.
            “Ya. Kalian ikut?”
            Ruan menoleh kearahku, meminta persetujuan. Pesta? Aku suka pesta. Menari-nari turun bergelayutan pada titik  hujan, lalu menari lagi bersama sahabat-sahabat kami di daratan, melompat dan berdansa di hutan atau padang rumput atau sungai atau lautan. Aku ingin pergi tapi kami ada kelas tambahan setelah mengumpulkan uap. Bukan untukku sebenarnya.
            “Kau ada kelas tambahan bahasa Rune, Ruan.” seruku mengingatkan. “Dan jangan merayuku untuk tak mengajarmu hari ini dengan tatapan memohonmu yang sok polos itu.” seruku lagi sambil bersiap-siap menangkap awan yang telah kelihatan melayang bergerombol di bawah.
            Ruan cengengesan. “Lain kali saja, Han.”
            Han mengangkat bahu. “Selamat bekerja, Ruan, Plur.” katanya sambil menangkap uap yang telah datang.
            “Selamat bekerja, Han.”
***

            Aku menekan pensilku kuat-kuat pada kertas di depanku. Kuacak kertas itu dengan coretan horisontal lalu vertikal, horisontal dan vertikal, terus begitu berulang-ulang sampai kertas putih itu menghitam dan robek. Aku kesal dan bosan. Sepuluh hari terkurung dalam kubah sudah lebih dari cukup untuk membuat kekesalanku memuncak. Kesal karena iri melihat teman-temanku bebas berlarian di luar sana. Aku tak suka terkurung.
Kuremas kertas malang itu lalu kulempar kuat-kuat ketumpukan buku yang terserak di lantai. Remasan kertas itu memantul sekali sebelum  tergeletak di atas buku bersampul hitam seukuran telapak tanganku.
Aku melangkah mengambil buku itu. Kertas berkeresek dengan nada cepat saat kubuka lembaran-lembarannya dengan tergesa. Saat kutemukan halaman yang kucari, kutulis kata GAGAL besar-besar disamping kalimat “melubangi lapisan udara”. Kutekan pensilku kuat-kuat, menyalurkan kekesalanku sekali lagi. Wajar kalau aku kesal karena ide “melubangi lapisan udara”lah yang membuatku harus dipenjara dalam kubahku sendiri.
“Kita tak perlu cape-cape mengumpulkan uap kalau lapisan udara itu bolong. Uap akan sampai ke awan dengan sendirinya.” begitu kata Ruan waktu itu. Dan dengan konyolnya, aku mencetuskan ide untuk menggunakan Penyedot Bintang. Penyedot yang diciptakan oleh ketua Anuari untuk menarik bintang-bintang lebih dekat dengan kubah-kubah Raindell.
Dan begitulah, kami berhasil mengangkut Penyedot Bintang itu dari Kubah Besar lalu membawanya ke bawah lapisan udara, agak jauh dari kubah-kubah Raindell. Saat kami gunakan alat itu, kami terbeliak melihat kubah-kubah Raindell melesat cepat, tertarik ke arah Penyedot, lalu bertabrakan satu sama lain. Kacau sekali waktu itu. Banyak kubah yang rusak. Aku dan Ruan pucat. Kami tahu, kami sudah membuat masalah besar. Kesoktahuan kami kali ini membahayakan Raindell. Untung saja tak ada yang terluka parah. Akhirnya, kami dihukum kurung dua minggu.
Aku mendengus marah saat ingat hukuman yang diberikan padaku. Aku dikurung dua minggu sementara Ruan hanya seminggu. “Benar-benar tak adil.” desisku marah. Kenapa ketua Anuari memberi hukuman lebih ringan pada Ruan padahal kami melakukan kesalahan yang sama?! Ah, harusnya aku sudah tahu jawabannya. Wajah polos tak berdosa milik Ruanlah penyebabnya. Ketua Anuari pasti tak tahan melihat tatapan dan ekspresi malaikat Ruan.
            “Penjahat berwajah malaikat.” Aku kembali menekan pensilku kuat-kuat.
***

Bunyi ketukan membangunkanku. Kugosok mataku. Menguap. Kuseret langkahku menuju pintu. Kubuka pintu kubahku. Tak ada siapa-siapa. Sinar bulan menimpa wajahku saat aku melongok keluar. Sudah malam rupanya.
            “Plur. Pssstt…” ada suara dibalik awan besar putih yang melayang pelan disamping kubahku. Sebuah tangan melambai.
            “Siapa?” tanyaku serak.
            “Ruan. Cepat kesini.” Oh, dia. Panjang sekali umurnya. Aku tak perlu mencarinya untuk menumpahkan kekesalanku. Kekesalan karena mendapat hukuman lebih banyak karena ide konyolnya dan kekesalan karena ia bersenang-senang sementara aku menjalankan hukuman.
Sekali lagi tangan itu melambai. Aku menoleh ke semua arah. Memeriksa keadaan. Hukumanku belum selesai. Kalau ada yang melihat dan melaporkan pada ketua Anuari, aku bisa dapat hukuman tambahan. Waktu makan malam memberiku kesempatan. Sepi. Penghuni Raindell sedang menikmati makan malamnya didalam kubah. Aku melompat kearah awan besar.
            Kulihat rambut abu-abu gondrong sebahu yang melayang-layang tertiup angin malam. “Kau, eh? Mau apa kau?” aku melipat kedua tanganku didada, menatapnya sinis.
            Ruan mengeluarkan cengiran kudanya. Membuatku kesal. Nyata sekali ia bahagia bisa bebas, tak terkurung dalam kubah selama  dua minggu penuh sepertiku. “Hai, Plur. Kau baik-baik saja?”
            “Apa aku terlihat baik-baik saja?!!”
            Ruan memeriksaku dengan matanya, dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Hmm... kelihatannya kau baik-baik saja.”
            Aku mendelik. “Aku mau pulang.” aku berbalik.
            “Hei, aku ingin menunjukkan sesuatu.”
            “Aku sedang tak ingin ditunjukkan sesuatu apapun olehmu sekarang.” desisku seraya berjalan keluar dari awan.
            “Aku menemukan Pintu Dunia-dunia.”
            Aku berhenti, berbalik dan mengangkat alisku. Aku tahu Ruan selalu membuat masalah tapi ia bukan pembohong. Pintu Dunia-dunia? Pintu itu semacam obsesi terbesar kami.
            “Kurasa aku melihatnya tadi malam.” mata Ruan bersinar penuh semangat. “Kau mau memeriksanya bersamaku?”
            Aku berpura-pura berfikir sebentar. ”Baiklah. Mencari udara sebentar tak akan masalah kurasa.”
***

            “Itu.” Ruan menunjuk awan kecil abu-abu seperti  ikan koki gendut yang melayang diudara, tak bergerak. Sinar bulan yang terang benderang seolah terserap habis kedalamnya dan tak terpantul lagi, membuatnya tak terlalu kelihatan.
            Dahiku berlipat. “Tunggu. Kau bercanda? Jangan membuatku kesal lagi!”
            “Tidak. Ini Pintunya.” Ruan kelihatan serius.
“Ini cuma awan.” nada suaraku agak meninggi.
 “Yeaaahh…” Ruan mengangkat bahunya. “Aku tahu, tapi… aku melihat sesuatu seperti pintu muncul dari awan ini tadi malam. Kau tahu, awan ini aneh. Ia tak bergerak kemanapun. Ia tetap disini. Aku mencoba mencari pintu itu lagi tadi…”
“Kau menemukannya?”
“Oh, eh, tidak. Tapi itu mungkin karena aku salah memperhitungkan, errr, kapan pintu itu akan terlihat.” Ruan mengangkat bahunya lagi. “Tapi aku sudah menganalisa dan aku sudah mendapatkan kapan pintu Dunia-dunia akan muncul.” lanjutnya cepat.
Aku mengangkat satu alisku, menginginkan penjelasan lanjutan.
“Pintu-pintu dunia akan terlihat saat bulan purnama tepat di atas kepala kita.”
Aku mendengus.
“Kau pernah dengar dongeng kuno yang bilang kalau makhluk langit akan turun dibulan purnama kan? Makhluk langit yang menjaga pintu itu akan turun saat bulan purnama ada diatas kepala kita, melakukan tugasnya, menjaga Pintu Dunia-dunia.”
Aku mengerang. “ Itu hanya dongeng.”
“Kita buktikan saja. Bagaimana? Kalau kita menemukan pintu Dunia-dunia itu, bukankah itu keren?”
Ruan telah menyentuh titik lemahku. “Penemu Pintu Dunia-dunia. Wow! Itu kedengaran sangat keren.” fikirku. “Baiklah. Kita lihat saja apakah itu Pintu Dunia-dunia atau bukan. Kalau bukan, kau harus merelakan jatah makanmu selama seminggu untukku.”
“Baiklah.” sahut Ruan, menang. Oh, yeah. Aku memang lemah dengan pujian.
***

            Aku merasakan tubuhku terguncang-guncang. Aku menggeliat. Dingin. Aku mengigil. Kubuka mataku perlahan, mengerjap-ngerjap berusaha mengumpulkan kesadaran. Dimana kubahku? Kenapa aku tidur diluar, melayang-layang diudara? Kulihat Ruan disampingku. Tidur.
                        Aku ingat sekarang. Aku dan Ruan sedang menunggu bulan purnama memunculkan Pintu Dunia-dunia. Aku menguap. Bulan purnama begitu benderang. Tunggu? Aku bangun tergesa. Bulan purnama tepat diatas kepalaku sekarang.
 “Ruan!” Ruan tersentak mendengar jeritanku. Setengah sadar, ia mencelat bangun dan mengikuti arah telunjukku.  Disana, ada pintu bulat, jernih seperti air telaga. Daun pintunya seperti air yang beriak-riak halus ditiup angin sepoi-sepoi. Pintu itu seperti permukaan sumur dangkal berair sangat jernih. Pendar-pendar cahaya bulan purnama bergerak-gerak diatasnya.
Dikedua sisi pintu, berjaga dua makhluk seperti burung rajawali putih raksasa, dengan sayap besar putih berkilau tertimpa cahaya bulan, dua kaki besar dan kekar dengan cakar yang kelihatan tajam serta wajah serigala menyeringai bengis. Mereka Anctir, makhluk langit, sang penjaga Pintu Dunia-dunia. Mereka diam tak bergerak, tapi sinar matanya siaga.
            “Pintu Dunia-dunia.” suara Ruan tercekat tertahan. Wajahnya terlihat gembira. Aku gembira sekaligus ngeri. Gembira karena menemukan obsesiku sejak beberapa tahun yang lalu dan ngeri melihat sang penjaga. Aku ingin tersenyum, tapi yang keluar malah ringisan. Ruan berjalan mendekati pintu, tak menghiraukan sama sekali sang penjaga yang terlihat siap membunuh siapa saja yang berani mendekati benda yang mereka jaga.
            “Ruan.” aku menarik bajunya. Sekuat tenaga aku menariknya kembali, jauh dari Pintu dan penjaganya. Tapi yang terjadi, aku malah terseret mendekat mengikuti langkah Ruan. Apa yang terjadi?
“Ruan masih tidur.” fikirku panik. “Ruaann! Ruaann!” Aku memukul-mukul bahunya sambil tetap berjalan terseret mengikuti. Ruan tak peduli. Kurasa ia bermimpi. Kupukul lagi bahunya, mencoba menyadarkannya. Ruan masih seperti tak merasakan pukulan itu. Ia berjalan semakin cepat dan sekarang sudah sangat dekat dengan Pintu. Dua bayangan anak berkulit seputih awan dengan rambut abu-abu terlihat jelas dalam riak-riak dipermukaan daun pintu. Kulihat ada sepasang mata kuning bunga Matahari disana.
Mataku, menatap cemas bayangan lain dengan mata biru yang berbinar-binar bahagia. Aku menoleh kearah dua penjaga. Aneh. Mereka masih diam padahal kami bahkan sudah bisa menyentuh Pintu dengan tangan kami. Kupererat peganganku pada baju Ruan. Degup jantungku bahkan bisa kudengar dengan jelas. Tak kualihkan pandangan dari dua penjaga. Ruan telah berhenti melangkah sekarang. Dan penjaga itu masih diam. Benar-benar diam.
            “Ruan.” aku mengguncang tubuh Ruan. “Ruan.” kuguncang lebih keras.
            “Indah kan, Plur?”
            Aku mendelik. Tak sadarkah ia ada dua makhluk raksasa yang bisa memakan kami berdua sekali telan? “Ruan. Penjaga itu.” aku mengguncang badannya lagi.
            “Penjaga apa?” belum sempat aku menjawab, Ruan menjerit sekencang-kencangnya dan melompat tinggi sampai tubuhku yang sedari tadi menempel padanya terpental.
“Aaaaa!!” oh tidak! Aku terpental kearah salah satu penjaga! Aku akan masuk kedalam mulut Anctir bengis itu. Aku menggigil melihat seringaian yang semakin lebar. Taring-taring itu bergerak membuka. Aku sebentar lagi akan mati. Maafkan aku ayah, ibu, ketua Anuari.
***

            “Plur… Plur… “ suara Ruan. Apakah ia juga dimakan Anctir? Apakah kami berdua telah ada disurga sekarang? Tak terlalu buruk kalau begitu. Setidaknya, aku punya teman. “Plur, bangun.” Tubuhku duguncang-guncang. Aku membuka mataku sedikit-sedikit. Kulihat muka Ruan yang menunduk memandangiku.
            “Apakah kita ada di surga?”
            Ruan tertawa keras mendengar pertanyaanku. “Ya. Kita ada di surga. Bangunlah kalau kau mau melihat surga.” Ia bangkit berdiri dan menarikku bangun. “Itu pintu surga. Mau masuk?”
            Pintu itu. Pintu Dunia-dunia. Awan kecil abu-abu ada dibawahnya. Sang penjaga masih ada dikedua sisinya. Kulihat sekeliling. Bulan purnama bersinar-sinar diatas langit. Awan-awan putih dan kelabu melayang-layang. Kuhentakkan kakiku. Udara ini masih sama. “Apakah surga sebegitu miripnya dengan Raindell?” tanyaku lagi.
            Ruan kembali tertawa. “Kau masih di Raindell, Plur. Makhluk itu cuma, aduh, entahlah akupun belum tahu apakah ia cuma pantulan cahaya bulan atau apa. Yang pasti, ia tidak hidup. Maaf soal tadi.” Ruan nyengir kuda.
            Aku meringis.  Lalu melangkah mendekati pintu, diikuti Ruan. Lagi, bayangan kami bergoyang-goyang dipermukaan Pintu.
            “Ayo kita masuk.” seru Ruan bersemangat.
            Aku melotot. “Kau tak sedang berfikir konyol lagi, kan? Kita tak tahu kemana Pintu ini akan mengantar kita.”
            “Oh, ayolah. Apa gunanya kita temukan Pintu ini kalau kita tak memasukinya.”
“Aku tak mau.”
“Ayolah. Kau kan tahu aku tak bisa pergi tanpamu.” Ruan memegang tanganku, menatapku seperti anak kecil meminta tolong. Cukup sudah. Wajah memohon itu takkan mempan sekarang.
“Kau kan menemukan pintu ini sendirian. Sekarang kau juga bisa pergi sendirian.”
“Itu karena kau sedang dihukum. Dan aku tak sengaja menemukannya.”
“Oh yeah. Benar. Tapi kau ingat, aku dihukum karena mengikuti ide konyolmu. Membolongi lapisan udara? Heh! Dan aku belum menyelesaikan hukumanku. Aku tak…”
“Kau takut bertualang sekarang?”
            Aku membuka mulutku. Apa?! Dia bilang… “Ayo. Kita masuk!” aku tak sudi dibilang penakut!
***

Tubuh kami meluncur deras dalam kegelapan. Sensasinya tak nyaman. Aku merasa tubuhku tersedot, berputar-putar cepat dalam sebuah terowongan. Kepalaku pusing dan pegangan tangan Ruan terlepas.
            “Aaaa!” aku terkesiap mendengar teriakan itu. Jantungku berdetak cepat. Ruan! Aku belum sempat memikirkan apa yang terjadi pada Ruan saat sedotan terowongan berhenti dan berganti menjadi udara panas yang aneh.
“Aaaaaaaaa!!” Aku bahkan bisa tuli mendengar teriakanku sendiri. Tapi rasa tuli tak sebanding dengan rasa takutku sekarang. Tubuhku terlempar dan terhempas pada dataran batu raksasa, keras dan licin. Aku mencoba mencari pegangan agar tak kembali terlempar dan terhempas pada dataran batu-batu raksasa lain yang entah seperti berlarian, berkejaran. Tak ada celah sama sekali untuk berpegangan. Aku telah terlempar dan terhempas entah untuk keberapa kali. Yang pasti tubuhku sakit, suaraku hilang dan kesadaranku hampir habis. Aku mati sekarang. Aku mati.
“Ruan… Ruan…” gelap.
***

            Aku ingin menangis, tapi tak bisa. Aku memang tak pernah menangis. Tapi sekarang, rasa sedih dan putus asa mencengkeram kuat hatiku. Aku takkan sesedih dan seputus asa ini kalau saja aku tak berpisah dengan Ruan. Aku belum pernah menghadapi kejadian apapun sendirian. Dan sekarang, aku terdampar didunia asing yang belum pernah kupelajari dibuku sekalipun, tanpa Ruan.
Dunia apa ini? Kemana Pintu Dunia-dunia menjerumuskan kami? Aku tak tahu. Kugerakkan badanku. Sakit. Batu-batu raksasa  itu hampir meremukkan badanku. Akupun tak tahu kenapa aku masih hidup. Saat bangun, aku hanya melihat kegelapan. Dan sudah beberapa lamanya aku tak beranjak dari kegelapan yang pekat itu. Tunggu, ada suara. Ada cahaya. Aku beringsut pelan, berusaha tak membuat suara sekecil apapun. Aku mengintip, tapi tak ada siapapun atau apapun. Hanya cahaya yang entah muncul darimana.
Aku tercekat saat mendengar geraman. Aku beringsut masuk agak jauh kedalam kegelapan. Oh tidak! Geraman itu terdengar lebih keras. Cahaya semakin menyebar bahkan menerangi tempat persembunyianku. Jantungku memukul-mukul dengan keras saat terdengar langkah berat dan kasar mendekati tempat persembunyianku. Sebuah bayangan sangat besar tercetak didepanku. Besar dan bertanduk. Raksasa?!
Aku tak bisa bergerak kemanapun karena tempat persembunyianku itu seperti sebuah kotak yang terbalik dan hanya terbuka dibagian dimana raksasa itu sekarang berada. Raksasa itu berhenti melangkah tepat didepan kotak persembunyianku. Ia menggeram sangat keras sampai jantungku serasa akan melompat-lompat keluar dari tubuhku. Lalu ia menunduk memeriksa kotak. Aku tahu ia sudah melihatku. Aku bisa merasakan nafasnya yang panas sekarang. Ia mendengus didepan mukaku lalu menggeram keras.
            “Aaaaaa!” jeritanku keluar tanpa bisa kukendalikan. Aku menjerit sekuat-kuatnya sampai kepalaku sakit.
            “Hei, nak.” raksasa itu memanggilku “nak”? Aku mendengarnya dan berhenti berteriak.
            “Jangan makan aku.” Suaraku bergetar memohon.
            “Siapa yang akan memakanmu?”
Tunggu. Suara itu. Aku kenal suara itu. Kubuka mataku. “Ketua Anuari!”
            “Kau melarikan diri dari hukumanmu, eh?” tanyanya. Aku gelagapan. “Baiklah. Mungkin kau bisa menjelaskan sambil berjalan. Sahabatmu sudah menunggu.” ia menarikku bangkit. Aku berdiri, masih gemetar, lalu berjalan mengikutinya.
***
            “Jadi ini dunia Asing?”
            “Kau berbicara aneh, nak. Ini Raindell dan sekarang kau sedang ada di taman rekreasi milikku. Belum jadi, tapi sebentar lagi akan selesai.”
            “Taman rekreasi?”
            “Ya. Aku fikir, anak-anak sepertimu perlu taman rekreasi dan merasakan dunia Asing yang pernah kulihat dulu lewat taman ini. Karena kau tahu, Pintu Dunia-dunia sudah tak ada lagi. Pintu itu hanya bisa ditemukan sekali. Jadi kubuat taman yang isinya hampir sama seperti Bumi tempatku pergi beberapa puluh tahun yang lalu. Itu mobil. Fungsinya sama seperti awan di negeri kita.” Ia melambaikan tangannya pada  benda berbentuk kotak. Ada dua mata yang bersinar-sinar didepannya.
“Aku kira anda tadi raksasa.” kataku sambil mengamati dua mata yang bersinar itu.
“Raksasa? Itu hanya bayanganku.” Ketua Anuari tertawa. “Kau mau naik mobil bersamaku? Kita jemput Ruan diujung taman sana.”
            Aku masuk lewat pintu yang dibuka ketua Anuari untukku. Otakku penuh dengan pertanyaan. “Jadi yang didepan itu bukan pintu dunia-dunia?”
            “ Itu hanya replika. Kubuat agar anak-anak Raindell juga bisa merasakan Pintu ajaib itu.”
            “Bagaimana anda membuatnya?”
            “Mudah saja bagiku, nak. Kau akan mengerti setelah kau dewasa.”
            Masih banyak pertanyaan dalam otakku ketika kotak, eh, bukan, apa namanya tadi, sudah berjalan cukup jauh mengelilingi taman. Lalu kulihat rambut abu-abu gondrong sebahu didepan sana. Ia sedang makan dengan lahap menoleh seketika saat sinar mata kotak itu menyorotinya. Aku membuka pintu tak sabar.
            “Ruan!”
            “Hai, Plur. Kita tak jadi menemukan Pintu Dunia-dunia. Maafkan aku.”
            Aku tak menjawab. Kurebut makanan ditangannya. “Dan jatah makananmu selama seminggu harus kau serahkan padaku.” kami tertawa bersamaan.
            “Dan ingat, nak. Jangan memikirkan ide konyol lagi dalam waktu dekat ini dan jangan kabur dari hukumanmu”.
            Aku dan Ruan berpandangan.
“Tapi kali ini kumaafkan.” kata Ketua Anuari sebelum kami sempat berkata apa-apa. Kami bertiga tertawa bersama.


The End