20 July 2011

BLC - BETUNG


BETUNG
(Diikutkan dalam BLC)
Air dari pancuran bambu di belakang rumah berkecipak menimpa batu-batu. Sayup-sayup, suara azan dari masjid di hulu kampung terdengar diantara suara Uwar dan Tita yang sibuk dengan bambu besar yang tergeletak dekat semak-semak kemunting yang berbunga ungu.
“Bukan begitu caranya,” protes Uwar. Tangannya tak sabar ingin mengambil alih pisau seraut yang berujung runcing dari tangan Tita.
“Bang Radi buatnya begini kok,” sahut Tita acuh. Ia terus berusaha melubangi kulit tebal bambu - 5 jari jaraknya dari pangkal - dengan seraut.
“Kalau kau memegang serautnya begitu, tanganmu bisa luka,” seru Uwar was-was.
“Ah, sudahlah. Kau diam saja.”
“Titaaa!” terdengar suara bapak memanggil dari rumah. “Sholat Ashar dulu!” seru bapak mengingatkan.
“Iya, pak. Sebentar lagi,” Tita berteriak menyahut.
“Kau sholatlah. Biar aku yang melubanginya,” Uwar berusaha mengambil seraut di tangan Tita.
“Jangan. Nanti aku kalah,” Tita menepis tangan Uwar.
“Bang Radi kan lagi di rumah nenek. Dia tak akan tahu.”
“TI-DAK! Kata ibu tak boleh bohong. Nanti Tuhan marah.”
Uwar hanya bisa memandangi Tita sambil mengerucutkan bibirnya.
***

Matahari hampir tenggelam di balik hutan. Sebentar lagi maghrib. Uwar sudah pulang. Tita masih saja sibuk dengan bambunya di beranda belakang.
            “Tita,” ibu tiba-tiba muncul dari balik pintu dapur.
            “Nggg,” gumam Tita tanpa mengalihkan pandangannya dari bambu.
            “Teman-temanmu mau ke masjid. Mereka menunggu di depan,” kata ibu lagi.
            “Tita sholat di rumah saja, bu,” sahut Tita tanpa menoleh.
            “Sebentar lagi Ramadhan, lho. Allah lebih sayang pada orang yang sholat ke masjid. Ayo, ibu juga mau ke masjid.”
            Tita menghentikan pekerjaannya dengan enggan. Diletakkannya seraut. “Tita wudhu dulu,” katanya seraya bergegas menuju pancuran di belakang rumah.
***

Sepuluh hari lagi Ramadhan. Setiap Ramadhan, kampung itu akan dipenuhi bunyi letusan-letusan betung dari hampir setiap rumah. Meriam dari bambu itu memang selalu ada di bulan puasa. Selain berbuka, menyalakan betung adalah hal yang membuat Tita tak sabar menunggu bulan puasa datang.
Seminggu yang lalu, sebelum pergi ke rumah nenek, Radi menantang Tita untuk membuat betung tanpa bantuan siapapun. Kalau betung itu sudah jadi saat Radi pulang, Tita akan mendapatkan teropong bagus milik abangnya itu. Dari dulu, Ia ingin sekali memiliki teropong itu.
Mendapat teropong dan punya betung sendiri membuat Tita menerima tantangan walau ia tak tahu cara membuatnya. Uwar, satu-satunya anak dari keluarga bukan islam di kampung itu berusaha membantu. Dengan tegas Tita menolak. Ia hanya mengizinkan Uwar menemaninya. Menemaninya menggergaji bambu di hutan dan melubangi bambu itu.
Saking sibuknya dengan betung, Tita sering telat sholat, bahkan beberapa kali meninggalkan sholat. Dan malam ini, ia absen mengaji di masjid. Tita pulang duluan dengan obor di tangan, berlari sendirian meninggalkan teman-temannya yang sibuk belajar untuk ikut tadarusan bulan puasa. Ia ingin menyelesaikan betungnya yang hampir jadi.
***
Suasana sore di kampung kecil itu begitu semarak. Suara orang-orang dewasa yang sedang bermain voli di belakang sekolah terdengar riuh. Di lapangan sepakbola depan sekolah, suara anak-anak yang sedang bermain kasti, main tapok kaleng, dan main kelereng menggema sampai ke hutan yang mengelilingi kampung.
Sementara itu, di belakang sebuah rumah yang dibatasi kebun pisang, tak jauh dari sekolah, dua orang anak berkutat dengan bambu sepanjang setengah meter. Tita membawa pelita di tangannya. Uwar menyusul di belakang sambil membopong betung.
            “Di sini saja,” kata Tita sambil menunjuk dahan pohon patah yang tergeletak dekat semak kemunting di belakang rumah.
            Uwar meletakkan ujung betung di atas dahan pohon patah tadi. Ujung betung memang harus lebih tinggi dari pangkalnya agar minyak tanah yang nanti dimasukkan ke dalamnya tidak tumpah.
Tita memasukkan minyak tanah dari dalam pelita ke dalam betung melalui lubang kecil yang dengan susah payah dibuatnya. Ia menyalakan pelita. Mengambil ranting kecil di dekatnya lalu menoleh kearah Uwar.
“Kau sudah siap?”
Uwar mengangguk bersemangat.
Tita mencocol ujungranting di tangannya ke dalam minyak tanah di dalam betung. Ia bakar ujung ranting dengan api pelita lalu memasukkan ujung ranting yang menyala itu pada lubang.
Bussshh! Tak ada suara letusan. Asap keluar dari ujung betung.
“Harus pemanasan dulu,” kata Tita berusaha menghibur dirinya sendiri.
“Ya, ya,” Uwar tersenyum menyemangati.
Sekali lagi, Tita mencocol ujung ranting ke dalam minyak tanah lalu membakarnya dengan api pelita dan memasukkan ujung ranting dengan api menyala-nyala itu pada lubang betung.
Bruuuuttt! Sedikit seperti letusan. Asap masih keluar dari ujung betung.
“Horee! Tadi hampir meletus,” sorak Tia. “Kau mau mencobanya?” Tita menyorongkan ranting pada Uwar.
Uwar mengambilnya, mencocol ujung ranting pada minyak tanah, membakarnya pada api pelita lalu memasukkan ujung ranting berapi itu pada lubang.
            DUAARR!
Tita melonjak gembira saat betung itu meletus keras, menggema di penjuru hutan kecil belakang rumahnya. Berhasil! Ia berhasil membuat betung tanpa bantuan siapapun. Uwar tertawa gembira lalu mulai menyalakan api pada ranting lagi. Suara letusan lebih keras terdengar saat api pada ujung ranting itu memasuki rongga betung yang terisi minyak tanah. Tita dan Uwar bersorak- sorai gembira.
            “Aku lagi… aku lagi,” seru Tita seraya merebut ranting di tangan Uwar. Uwar menggeser tempat duduknya, memberi tempat untuk Tita.
            Buuussshh! Suara seperti knalpot mampet itu membuat Tita terperangah.
            “Kok tak ada letusan?! Tadi kan meletus,” protesnya. Dicobanya sekali lagi.
            Bruussshhh! Suara knalpot mampet lagi. Kesal, ditiup-tiupnya lubang pada betung. lalu tiba-tiba terdengar bunyi letusan keras disertai teriakan Tita.
            “Ibuuuuu!” teriak Tita menangis. Wajahnya terasa panas bukan main. Matanya juga sakit. Ia tak memperdulikan seruan-seruan panik Uwar.
            “Astaghfirullah, Titaaa,” ibu berlari tergopoh-gopoh menuju Tita. “Kenapa kamu, nak?”
            “Tita kena api betung, bik. Api dari dalam betung keluar, kena muka Tita,” Uwar berusaha menjelaskan.
            “Inilah akibatnya tidak mendengarkan omongan orang tua,” omel ibu sambil mengangkat tubuh Tita. Tangisan Tita makin keras. “Sudah. Jangan menangis lagi. Malu diliat Uwar,” kata ibu seraya membimbing Tita yang tersedu-sedu pulang.
***

Tita memandang cermin. Ada wajah dengan alis hampir tak ada di sana. Api betung itu membakar alisnya. Bekas-bekas merah juga masih terlihat di wajahnya. Diingatnya omelan ibu tadi. Omelan karena kebohongan-kebohongannya pada ibu. Ternyata, ibu tahu kalau ia meninggalkan sholat dan tidak mengaji. Ibu tahu semuanya dan menunggu. Menunggu saat yang tepat untuk membuat Tita sadar apa yang ia lakukan itu salah. Tita menatap alisnya yang hilang sambil sesenggukan. Dalam hati berjanji tak akan berbohong lagi.

No comments:

Post a Comment