19 December 2011

Ayo Menanam Air


Dari sini
Kalimantan adalah pulau yang dikaruniai hutan dan sungai sehingga persediaan airnya melimpah. Tak susah menemukan air bersih di sini. Sungai-sungai terbentang panjang dengan anak-anak sungai yang menjalar ke seluruh pulau. Hutan-hutan lebat berisi pohon-pohon penyerap air hujan yang menyediakan banyak mata air untuk dikonsumsi.

Kalimantan Barat sebagai bagian dari pulau Kalimantan juga memiliki karunia serupa. Sungai Kapuas, sungai Landak, sungai Melawi dan ratusan sungai lain menyebar ke seluruh penjuru provinsi. Hutan yang di dalamnya tersedia air juga masih lebat. Tapi, mengapa masyarakat sekarang - terutama di kota madya, kota kabupaten dan kota kecamatan - harus membeli air bersih untuk konsumsi sehari-hari?

Pencemaran air sungai adalah penyebab utamanya. Kadar merkuri dalam air sungai sudah melebihi ambang batas normal sehingga air sungai tidak bisa lagi dikonsumsi. Dikutip dari Pontianak Post Online, penelitian yang dilakukan oleh Fakultas MIPA Universitas Tanjung Pura pada tahun 2008 terhadap air di sungai Kapuas menunjukkan bahwa kandungan merkuri di Kabupaten Sekadau mencapai 0,2 ppb (parts per billion) dua kali lipat di atas ambang batas normal. Sedangkan penelitian di Kabupaten Sintang menemukan kandungan Hg hingga 0,4 ppb. Itu hasil penelitian tiga tahun yang lalu. Dengan masih beroperasinya tambang-tambang emas ilegal di hulu sungai, dipastikan kadar merkuri dalam air sungai Kapuas semakin bertambah tinggi.

Selain merkuri, sungai Kapuas juga dicemari oleh limbah pabrik, rumah tangga, bakteri ecoli dan pestisida dari perkebunan. Padahal sedikitnya ada 1,7 juta jiwa penduduk Kalbar yang hidupnya bergantung pada sungai yang memiliki panjang 1.086 kilometer ini. Kebayang kan, bagaimana kehidupan masyarakat akan lebih terganggu karena pencemaran air sungai ini. Apalagi, bukan hanya sungai Kapuas saja yang tercemar.

Selain pencemaran sungai, penebangan hutan untuk lahan perkebunan juga merupakan  penyebab berkurangnya sumber air bersih di Kalimantan Barat. Ekspansi perkebunan sawit menyebabkan hutan Kalimantan Barat hilang hingga lebih dari 50 %. Ditambah lagi dengan adanya sistem ladang berpindah dan penebangan hutan. Hutan Kalimantan Barat sekarang hanya lebat di sebagian tempat. Area tanpa pohon berubah menjadi area tandus tanpa air. Kalaupun ada, masyarakat harus menggali puluhan meter untuk menghasilkan air tanah yang berbau. Oleh karena itu, untuk minum dan memasak, masyarakat harus membeli.


Keadaan ini tak bisa dibiarkan. Kalau tak ada langkah penyelamatan dari sekarang,  dampaknya akan lebih dari sekedar membeli air bersih untuk dikonsumsi. Lama-kelamaan, Kalimantan Barat akan seperti daerah timur yang kering tanpa air.

Melihat kembali latar belakang timbulnya masalah sumber air ini, kesemuanya dipicu oleh kegiatan pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat. Masyarakat melakukan tambang emas, menebang pohon-pohon di kebunnya untuk ditanami sawit dan padi, serta penebangan pohon untuk mengambil kayu dengan tujuan mendapatkan uang.

Ada cara agar kegiatan konservasi air sejalan dengan kegiatan ekonomi masyarakat. Menanam karet. Perkebunan karet lebih ramah lingkungan daripada perkebunan sawit. Apalagi perkebunan tradisional yang tidak hanya berisi pohon karet tetapi juga pepohonan dan tumbuhan lain. Tumbuhan ini berfungsi untuk penyerap air hujan sehingga ketika musim hujan datang, banjir tidak akan terjadi di daerah sekitar dan saat musim kemarau, daerah tersebut akan terhindar dari kekeringan karena tanah sudah menyimpan cadangan air yang tumpah selama musim hujan.

Selain konservasi air, kebun karet juga berguna untuk konservasi tanah. Dedaunan yang membusuk serta kotoran berbagai jenis binatang yang hidup di dalamnya menciptakan humus untuk tanah. Disamping itu, masyarakat bisa memperoleh penghasilan dari kebun ini karena saat ini harga jual karet di pasaran dunia tinggi yang disebabkan oleh kurangnya pasokan karet. Dengan kata lain, selain menyokong ekonomi masyarakat, kebun karet juga menyokong kelestarian lingkungan.


Oleh karena itu, untuk konservasi air, tanah dan ekosistem, ayo kita menanam karet. Selain menjaga kelestarian lingkungan, kita juga bisa mendapat keuntungan dari hasil produksi lateks. Ayo menanam karet, ayo menanam (sumber) air.

17 December 2011

Ayo ngeblog: Blogger Jutawan

Wow! Ada kontes lagi. Akhir tahun ini memang dipenuhi berbagai kontes menulis. Belum selesai  menulis artikel yang satu, sudah ada info kontes yang lain. Sayapun jadi galau. Blog saya galau. Notebook saya juga galau. :D

Dua bulan terakhir ini, aktivitas blog saya sedang tinggi-tingginya. Biasanya dalam sebulan saya hanya posting sekali  (dasar pemalas!). Sekarang jadi lebih rajin. Semuanya, ya, gara-gara kontes-kontes itu. Ketahuan deh kalau niat saya ngeblog cuma karena hadiah. :D

Dari sini
Cerita-cerita dulu, ya. Awal saya ngeblog dulu, niatnya cuma untuk curhat. Saya yang introvert malu kalau masalah saya diketahui orang lain. Saya tidak sadar kalau lewat blog, curhat saya itu bisa dibaca sama lebih banyak orang. Terrible! Akhirnya setelah sadar, postingan-postingan di pertengahan kebanyakan berisi info atau cerita kehidupan saya sehari-hari yang tidak terlalu emosional. Kesini-sininya, saya baru berfikir untuk mencari uang lewat blog. Saya terinspirasi oleh teman-teman blogger lain yang berpenghasilan dengan menulis di blog. 

Ikut kontes menulis jadi langkah awal untuk mendapat uang lewat blog. Saya ikut aktif dalam berbagai kontes baru-baru ini. Hasilnya, saya belum mendapat uang ataupun menang dalam kontes manapun. Saya tidak menyerah. Saya belum ikut lebih dari sepuluh kontes. Kakek Edison gagal ratusan kali  tapi tidak berhenti membuat lampu sampai akhirnya lampu temuannya jadi. Saya juga harus seperti itu. Terus menulis, terus menulis, terus menulis dan belajar dalam setiap prosesnya.


Selain itu, sekarang saya juga mulai belajar SEO. Saya tahu SEO saat saya ikut kontes menulis semi SEO. Saat tahu kalau  mau blog saya dikenal banyak orang, SEO mesti tinggi, saya berusaha mempelajarinya.  Hasilnya, dalam beberapa minggu ini muka saya lebih sering seperti pakaian belum disetrika. Kusut. Maklum, saya pembelajar audiovisual. Lebih gampang mengerti kalau ada orang yang menjelaskan. Tapi, demi blog ini, saya rela pusing-pusing mengubek-ngubek google dan membaca artikel-artikel yang membahas tentang blog, SEO dan semacamnya.

Kedepannya, saya ingin blog ini menjadi salah satu sumber penghasilan saya. Selain tetap mengikuti kontes-kontes menulis, saya ingin memperkenalkan tulisan-tulisan fiksi saya. Saya ingin blog saya ini menjadi galeri cerpen. Saya memang sudah mulai posting cerpen-cerpen. Baru beberapa sebagai permulaan.

Dari sini
Saya tahu, blog bagus tak hanya dengan bermodalkan SEO tinggi. Harus ada kualitas dalam tulisannya. Untuk itu, saya akan tetap belajar menulis, baik fiksi maupun non-fiksi, untuk mengasah kemampuan saya. Dengan demikian, ketika tulisan saya sudah lebih nyaman untuk dibaca dan orang-orang mulai suka, saya bisa mendapat keuntungan dan bisa menjadi blogger jutawan (wuhuuu~). Saya juga berharap isi blog ini bermanfaat bagi banyak orang. Mudah-mudahan alam berkonspirasi dengan saya untuk merealisasikan mimpi saya ini. Amin.

Buat yang belum punya blog, yuk ngeblog. Kita bukan cuma bisa having fun, dapat banyak teman tapi juga bisa dapat penghasilan. Asik kan? Kapan lagi bisa dapat uang dengan cara fun. Sambil menyelam minum jus gitu loh. :D

Postingan ini diikutsertakan dalam kontes: Ayo Ngeblog: Saya NgeBLOG, Kamu...??!! pada blog duniamuam.

15 December 2011

Andai Saya Menjadi Anggota DPD RI

Andai saya menjadi anggota DPD RI- Tak terlalu susah membuat satu, dua, bahkan banyak program untuk daerah. Turun ke lapangan mencari data, membahasnya di sidang, terbentuklah kesepakatan mengenai hal-hal yang akan dilakukan untuk pembangunan daerah yang tertuang dalam bentuk program. Selesai. Lalu apa? Lanjut ke pelaksanaan. Nah,  di bagian inilah kuncinya.

Merealisasikan sebuah program itu susah, terutama merealisasikannya dengan  konsistensi penuh pada tujuan awal program. Banyak hambatan di sana-sini. Banyak rintangan. Banyak godaan. Lihat saja, banyak sekali program-program yang dibuat pemerintah yang pelaksanaannya tersendat. Mulai dari pembangunan jembatan yang hanya setengah jalan, jalanan yang terus berlubang (bahkan di ibukota provinsi), sertifikasi guru yang uangnya sering telat datang, Jamkesmas yang tidak tepat sasaran dan lain-lain. Mengapa? Jawabannya adalah karena banyak oknum pemerintahan yang terpikat godaan uang. Korupsi.
Dari sini
Praktek korupsi makin merajalela. Tahun 2011, Indonesia bahkan menempati peringkat ke 4 sebagai negara terkorup di dunia. Ada yang bilang, itu semua terjadi karena bobroknya birokrasi yang menciptakan celah untuk korupsi. Ada kesempatan untuk bertindak dan bereproduksi sehingga tindakan tercela ini bagaikan rantai yang tak mudah putus. Setiap lembaga pemerintahan, tak terkecuali DPD RI, mempunyai celah untuk melakukan tindakan ini.

Lalu, apa jadinya program-program bagus yang direncanakan pemerintah kalau korupsi tak juga berhenti?  Program tak akan berjalan sebagaimana mestinya. Kemudian, apa jadinya daerah kalau pelaksanaan program tak berjalan sebagaimana mestinya? Daerah tetap terpuruk tanpa ada pembangunan berarti. Kalau begitu, apa gunanya ada DPD RI yang katanya memperjuangkan aspirasi daerah? Apa gunanya pemerintah?

Korupsi memang akar permasalahan pembangunan bangsa yang kaya ini. Semua rencana pembangunan memang jadi tak berarti selama korupsi berkuasa. Oleh karena itu, di bawah ini , ada dua hal yang akan saya lakukan andai saya menjadi anggota DPD RI.

  • Andai saya menjadi anggota DPD RI, saya akan menjaga diri saya untuk tidak ikut melakukan tindak korupsi. Saya akan menjaga diri saya untuk tetap bersih. Saya menolak untuk melakukan dan menolak untuk membantu. Saya ingin menjadikan DPD RI sebagai lembaga pemerintahan Indonesia paling bersih. Untuk itu, saya harus memulai dari diri saya sendiri.

Dari sini
  • Andai saya menjadi anggota DPD RI, selain menjaga diri dari korupsi, konsistensi pada visi ,misi dan tugas  juga akan saya tanamkan pada diri saya. Saya akan berjuang demi terwujudnya "Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) sebagai lembaga legislatif yang kuat, setara dan efektif dalam memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah menuju masyarakat Indonesia yang bermartabat, sejahtera, dan berkeadilan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)".

Saya sadar,  di  antara banyaknya godaan dan celah untuk melakukan korupsi serta beratnya tugas sebagai anggota DPD RI saya harus mempunyai pondasi yang kuat untuk tetap bertahan. Pondasi yang harus saya punyai adalah rasa cinta dan takut pada Allah SWT. Tak ada hal yang bisa memotivasi manusia untuk melakukan perbuatan baik dan menjauh dari perbuatan buruk selain rasa cinta dan takut itu. Semoga semua anggota DPD RI adalah orang-orang yang cinta dan takut pada Tuhannya sehingga terbentuk DPD RI yang benar-benar pro rakyat, bukan pro duit. Amin.

14 December 2011

Spring House

Wadaw! Pe-eR tulisan menumpuk tapi saya malah sibuk benah-benah rumah. Maafkan kebandelan saya, pak Teguh.

FYI saudara-saudara, rumah saya baru direnovasi. Kalau beberapa waktu yang lalu saudara-saudara hanya bisa menikmati gambar saya yang cantik sedang main perahu di ruang tamu (ambigu sekali kalimat ini!), sekarang tidak lagi. Sekarang waktunya saudara bisa menikmati  gambar bahkan di kamar mandi. Maaf mengecewakan karena tentu saja gambar yang dipajang di kamar mandi itu bukanlah gambar saya. Memangnya saudara-saudara kira saya ini penjaga kamar mandi?

Salah satu gambar di rumah saya
Saya ambil gambar ini dari sini


Ah, tentu saja tak hanya gambar. Ada hal-hal lain yang bisa saudara-saudara nikmati di rumah saya ini. Saudara-saudara penasaran? Nah, nah. Silakan berkeliling. Autumn akan menjelaskan apa saja yang ada di Spring House. Jangan sungkan-sungkan. Anggap saja rumah sendiri.  Dan, tolong, jangan buang sampah sembarangan. Sampai jumpa  jam 4. Kita akan minum teh bersama. Mari.

8 December 2011

Hilang (Part 1)


Jalanan itu curam, koreksi, sangat curam. Kemiringannya hampir 45 derajat dengan panjang tak kurang dari 10 meter.  Mulus beraspal dengan sisi-sisi dipenuhi akar-akar menjulur.
 "Ini tebing, bukan jalan." desisku. Tapi itu jelas sebuah jalan. Aspal itu tandanya. Juga marka putih yang membelah jalan menjadi dua bagian. Aku memijit dahiku. "Mungkin mereka tak pernah lewat sini."
“Mereka tak mungkin menerobos semak dan pepohonan itu dengan motor kan? Pun, tak ada jalan menikung kemanapun sejak tadi,” Jawab Remi, tak beranjak dari skuter.
“Mereka juga tak mungkin melewati jalan securam itu,” seruku.
Remi hanya mengangkat bahu.
Aku mendesis, merutuki skuter yang bisa-bisanya mogok hingga kami tertinggal. “Jadi, bagaimana kita lewat dengan skuter itu?”
Remi mengangkat bahunya lagi. “Belum ada ide.”  
“Handphone?”
“Tak ada sinyal.”
“Sial!” Aku melangkah mendekati juluran-juluran akar di tepian jalan, tertarik mencoba naik ke atas dengannya. Ada bekas-bekas lumut di sana. Hijau dan sudah mengering. Aku mengelus akar dengan telapak tanganku. Ada perasaan aneh saat kulit tanganku menyentuh akar coklat bercampur hijau itu yang membuatku melepasnya dengan cepat. Ingin tahu dan takut. 
Perasaan itu membuatku merinding. "Oh, please. Ini hanya akar!" desisku. Aku menyentuhnya lagi dan merasakan kembali sensasi tak nyaman yang membekukan tubuh. Takut yang membekukan. Aku melepasnya lagi. Tapi rasa ingin tahu memaksaku untuk kembali merasakannya. Kali ini aku berfikir lebih cepat untuk menariknya. Ada teriakan keras Remi di belakangku dan aku terdorong ke belakang dengan keras, jatuh berdebam di atas tanah.

6 December 2011

Curcol?

Seharian kemarin saya kaya orang linglung. Sebentar-sebentar ngecek layar handphone. Maklum, sedang menunggu telpon. Seharian sampai malam, saya masih sabar menunggu. Bahkan sampai pagi ini. Tapi, handphone saya ga berdering juga. Oh, no! Alamat kurang baik. Akhirnya, pengumunan di sebuah situs mengakhiri penantian saya secara tragis (syalelah)! Menangis di pojokan.

Dari sini

Awalnya saya ga percaya. Saya scroll ulang page yang berisi pengumuman maha penting itu. Saya eja nama-nama yang tercantum di sana. Berharap hurup di nama-nama itu bisa bergerak sendiri lalu membentuk nama saya.  Saya pelototi terus. Ga ada yang berubah. Nama saya tetap tidak ada di sana. Kenapa? kenapa ini terjadi pada saya? Padahal tadi malam saya bermimpi pergi ke Bali. Mimpi itu membohongi saya! #stress  :D

Yah, artikel saya ga menang saudara-saudara. Tulisan saya itu memang masih banyak kekurangan. Saya masih harus banyak belajar menulis artikel ilmiah. Secara, otak saya ini ga ada ilmiah-ilmiahnya. Kebanyakan fantasi. :D

Dalam rangka belajar menulis, saya mau coba ikut lomba ini. Lomba blog dan twit, andai saya menjadi anggota DPD RI. Jadi, kalau  ga mau ikut lomba blognya, bisa ikut lomba twit. Hadiahnya lumayan, dapat gadget plus tiket jalan-jalan. Info lengkapnya cek di sini ya. Selamat mencoba juga. Ciao. :)

1 December 2011

Ewaklopedia

Telah hadir di kota anda, EWAKLOPEDIA. Menyediakan rupa-rupa informasi kuno dan purba, menambah pengetahuan anda. Bersama EWAKLOPEDIA, anda Xlangkah lebih maju.

Hahaha. Promo ngga jelas di atas boleh dianggap serius boleh juga ngga. Saya memang berencana membuat diri saya menjadi seperti sebuah ensiklopedia berjalan khususnya ensiklopedia sejarah. Saya ngga tahu apakah hal ini akan berhasil mengingat otak saya tidak disetting untuk mengingat sesuatu dengan baik. :D

Seperti kata bijak, there is a will there is a way, apa salahnya saya mencoba untuk membuat rencana ngga masuk akal itu terealisasi, bukan? Hehehe. Tambahan, rencana itu didukung keberadaan teknologi yang semakin canggih. Sebut saja dia internet. Bagaimana hubungan rencana ngga masuk akal, otak pas-pasan saya dan internet?
Dari sini

Saya suka sejarah. Saya suka dengan hal-hal yang kuno dan purba. Kamu juga tahu kan kalo sejarah itu penuh dengan nama-nama orang, tempat, kejadian serta waktu  yang kapasitas otak saya tak akan sanggup untuk menyimpannya. Saya sering menceritakan apa yang saya tahu ke teman-teman saya. Tujuannya yah itu, biar tetap ingat. Tapi tetap saja, kadang-kadang virus lupa menyerang sistem otak saya. Kalau sudah begitu, informasi yang saya bagi ke teman-teman biasanya jadi kebolak-balik. Payah!

Tapi saya punya senjata rahasia untuk merefresh sistem itu. Saya punya internet. Saya bisa mencari informasi apa saja dengan internet. Saya bisa menjawab pertanyaan teman-teman saya dengan mencari jawabannya di internet. Gampang dan cepat. Saya ngga perlu ngebut ke perpustakaan. Saya ngga perlu kalang kabut sana sini nyari buku pinjaman. Internet membuat semunya jadi mudah. Saya optimis, dengan bantuan internet, saya bisa jadi Ewaklopedia beneran suatu  saat nanti. Hohoho

29 November 2011

(GoVlog) Belajar Memahami ODHA

Pontianak - Kalimantan Barat

Sebanyak 4.779 orang di Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) positif HIV/AIDS hingga September 2011 (Kompas, 21 November 2011).

Saya membayangkan apa reaksi saya kalau saya membaca berita di atas beberapa tahun yang lalu. Saya yakin bukan empati yang akan saya rasakan. Saya pastikan saya tak akan peduli dan saya tak mau ambil pusing karena menurut saya mereka mendapat penyakit karena perbuatan mereka sendiri. Saya ingat ketika saya masih SMA, ada berita bahwa HIV/AIDS telah sampai di kota kecil saya. Dalam pikiran saya ketika itu, "Ah, baguslah. Biar jera."


Dari sini
Saya tahu betapa jahatnya saya waktu itu. Katakanlah, tak manusiawi karena mensyukuri orang lain yang terkena musibah. Pengetahuan saya tentang HIV/AIDS memang masih sangat dangkal. Yang saya tahu, orang terkena HIV/AIDS karena perilaku mereka yang beresiko: seks bebas dan narkoba. Saya belum tahu kalau penularan HIV/AIDS tak hanya lewat seks bebas dan narkoba tetapi juga karena ketidaktahuan.

Dikutip dari sini, berdasarkan data GF-ATM Program Kalbar, hingga April 2011 terdapat 107 anak-anak pengidap HIV yang menjalani perawatan. Sepuluh di antaranya telah meninggal dunia. Lalu, apakah anak-anak ini melakukan perilaku berisiko? Tidak. Mereka menderita HIV/AIDS karena tertular dari ibu mereka dan ibu mereka tertular dari oleh sang ayah yang  tak sadar akan kemungkinan penyakit yang dia derita.


Dari sini
Pengetahuan ini membuat saya semakin paham, bukan salah mereka sehingga mereka menjadi ODHA. Bukan keinginan mereka untuk menjadi ODHA. Pun, seandainya mereka ODHA karena perilaku beresiko, kenapa kita harus terus menyalahkan, menjauhi dan menganggap mereka seperti sebuah kutukan? 


Dari sini
ODHA-ODHA pertama di kota kecil saya itu memang terjangkit HIV/AIDS karena perilaku mereka yang beresiko. Tapi, masih benarkah reaksi saya waktu itu? Sekarang, saya tak akan membenarkannya. Saya tetap mengutuk perilaku beresiko yang mereka lakukan tapi saya tak akan lagi memandang sinis mereka. 


Manusia tak ada yang sempurna. Manusia bisa saja berbuat salah. Haruskah kita menghukum mereka karena kesalahan masa lalu mereka? Bagaimana kalau mereka ingin berubah? Bagaimana kalau ODHA itu keluarga kita, saudara kita, teman kita? Masihkah kita tak peduli. Atau bagaimana kalau ODHA itu bahkan adalah kita sendiri?

Dari sini
Sebuah pemahaman yang benar mengantarkan kita pada tindakan yang benar. Tindakan yang benar dari kita akan membantu mereka menghadapi penyakit dan bahkan mengurangi penyebaran penyakit itu sendiri. Dukungan kita akan membangkitkan semangat hidup mereka dan membuat mereka terbuka akan penyakit yang mereka derita untuk mencegah mereka menyebarkannya pada orang lain.


Dari sini
Saya sedang belajar untuk semakin memahami ODHA dan akan mengajar dunia untuk juga memahami mereka. ODHA juga manusia. Mereka punya hak sama seperti manusia lainnya.  Jangan biarkan mereka sendirian. Let's understand, love, and respect ODHA.



28 November 2011

Peran Guru dalam Mencerdaskan Bangsa


Kebanyakan anak kecil, kalau ditanya mau jadi apa, jawabnya pasti jadi dokter, pilot, tentara, polisi atau yang lagi ngetrend sekarang, jadi Spiderman! :D Kenapa? Itu sebenarnya jadi pertanyaannya saya sedari dulu. Menurut otak saya yang seringkali over dosis dalam hal sotoynya ini, satu-satunya alasan kenapa kebanyakan anak tak bercita-cita jadi guru adalah karena guru itu tak sekeren Spiderman! Wah, adik-adik kecil itu pasti belum tahu kalau guru dan Spiderman itu sebenarnya sama. Sama-sama pahlawan super dan pastinya juga sama-sama keren, seperti saya. :D
Pak guru Spidey yang ngganteng baru pulang ngajar. :D
Fotonya saya ambil dari sini
Saya sebenarnya ingin menulis tentang Spiderman di sini. Saya ingin membandingkan si manusia laba-laba yang jago memanjat gedung itu dengan manusia biasa bernama guru yang tidak bisa mengeluarkan jaring laba-laba dari ujung jarinya. Secara, mereka kan sama-sama pahlawan super. Tapi sudahlah. Saya takut tulisan ini akan jadi OOT alias out of topic kalau saya memaksakan kehendak.
Baiklah, saya akan serius. Pertama-tama, saya diwajibkan untuk menjawab pertanyaan bagaimana peran guru dalam mencerdaskan bangsa. Saya bahas dulu tentang kecerdasan. Menurut para ahli, ada empat jenis kecerdasan. Yang pertama kali ditemukan adalah kecerdasan intelektual. Kecerdasan ini ditemukan oleh William Stern pada tahun 1912. Pada masa itu bahkan sampai sekarang juga masih, kecerdasan intelektual dianggap sebagai penentu berkualitas atau tidaknya seseorang.
Yang kedua adalah kecerdasan emosional. Istilah  kecerdasan emosional digunakan pertamakali oleh Wayne Payne pada tahun 1985 yang kemudian dipopulerkan oleh Daniel Goleman pada tahun 1995. Kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk memahami suatu kondisi perasaan seseorang, terhadap diri sendiri ataupun orang lain. Kecerdasan emosional ini diungkapkan dengan take a walk in another person’s shoes. Mohon jangan salah artikan kalimat berbahasa Inggris tersebut dengan selalu meminjam sepatu teman kalau mau pergi jalan-jalan. :D
Next, ada kecerdasan spiritual. Kecerdasan ini digagas oleh Danar Zohar dan Ian Marshall. Menurut Zohar dan Marshall (2001) kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup orang lebih bermakna dibandingkan orang lain. Kecerdasan spiritual memberi kita kemampuan membedakan mana yang benar dan mana yang tidak.
Yang terakhir adalah kecerdasan sosial. Istilah kecerdasan sosial pertamakali diperkenalkan oleh E. L. Thorndike pada tahun 1920 untuk menggambarkan keterampilan dalam memahami dan mengatur orang lain. Daniel Goleman (2007) mengungkapkan kecerdasan sosial ini terdiri atas dua hal, apa yang kita rasakan tentang orang lain (berhubungan erat dengan kecerdasan emosional) dan apa yang kemudian kita lakukan setelah kita merasakan perasaan orang lain itu.
Lalu, sebegitu pentingkah memiliki empat jenis kecerdasan itu? Penting karena keempat-empatnya saling mendukung untuk menjadikan seseorang berkualitas super. Kecerdasan intelektual diperlukan untuk kreasi dan inovasi, kecerdasan emosional untuk kepercayaan diri, kecerdasan spiritual untuk iman dan moral serta kecerdasan sosial diperlukan untuk kepedulian dan kasih sayang pada sesama.
Oleh karena itu, tugas guru akhirnya bukan hanya sekedar mengajar dan mentransfer ilmu-ilmu akademik kepada murid-muridnya tetapi juga harus membimbing dan mengayomi serta memberi teladan yang baik karena guru yang baik akan menghasilkan murid yang baik pula. Seorang guru dituntut tak hanya jadi seorang pengajar, tapi juga pendidik, orang tua, penasihat sekaligus motivator yang bertugas membentuk manusia berkarakter baik yang kreatif dan inovatif, percaya diri, bermoral dan peduli pada sesama. Pembentukan ini tak bisa jadi dalam waktu singkat, tapi memerlukan proses panjang yang terkadang menguras begitu banyak energi. Proses panjang ini juga harus dilakukan secara kontinyu dan memerlukan kerjasama yang baik antar semua pihak terkait: guru dan orang tua.
Dari paparan super serius dan super sederhana di atas, saya menarik kesimpulan bahwa tugas mencerdaskan itu tidaklah gampang. Perlu keahlian yang membutuhkan kecerdasan dan juga kesabaran (itulah kenapa saya samakan guru itu dengan Spiderman. Spiderman punya kekuatan super, guru punya kesabaran super. Wekeke). Membentuk sesuatu menjadi produk berkualitas bagus kan memang tak semudah membalikkan telapak tangan.
Ketidakgampangan tugas guru pernah membuat saya memilih untuk menjauh. Ketika akhirnya saya mencoba mengajar anak-anak pada sebuah bimbel, saya merasa saya mulai menyenangi aktivitas mengajar. Saya senang melihat keriangan mereka. Saya bahagia melihat perilaku mereka yang seringkali konyol (mungkin karena gurunya juga konyol). Saya bahagia dan hanya karena itulah saya memilih menjadi guru, hanya karena saya bahagia bisa bersama-sama murid saya. Walaupun saya akui, rasa ingin menjauh terkadang datang, saya berusaha untuk tetap tinggal dan melakukan sesuatu untuk menjadikan diri saya lebih baik dalam menjalankan peran saya.
Berbicara lagi tentang peran guru. Untuk mencerdaskan bangsa, seorang guru tak hanya bisa melakukannya di sekolah tetapi juga bisa lewat blog seperti yang dilakukan oleh http://wijayalabs.com. Sayang kalau teknologi yang sudah sedemikian canggih tak dipergunakan sebaik-baiknya untuk membantu tugas berat tapi keren itu. Selain berbagi pengetahuan dengan murid, blog juga bisa digunakan untuk berbagi pengalaman dengan rekan-rekan sesama guru guna mencari solusi-solusi yang tepat untuk memecahkan permasalahan-permasalahan di kelas, tak terkotak oleh area dan waktu. Mari kita menjadi guru cerdas yang mengajar dan mendidik dengan cara cerdas agar menghasilkan murid-murid cerdas demi membangun sebuah bangsa yang cerdas. Hidup guru!


26 November 2011

I am Ready!

Okeh! Rumah udah bersih. Ruang tamu udah rapi jali. Foto-foto keren udah di pasang termasuk salah satunya foto saya di kolam ikan belakang rumah. wkwkwk. Tapi ini juga masih berbenah-benah. Barang-barang masih banyak berada di tempat yang tak semestinya. Fiuhh. Ya sudahlah, sambil berbenah, berusaha nulis lagi. Ada tiga event yang bisa diikuti November ini. Salah  satunya Lomba Menulis Cerita Pendek Islami.Yang mau ikutan, bisa lihat infonya di sini. Wish you luck and please, wish me luck too. Hehe.

Syair Tentang Willow Kelabu

Ada kisah-kisah tua dan kuno
Tertulis di kertas papyrus rapuh diabad-abad yang lalu
Diceritakan orang-orang bermata abu-abu dari desa Sallow
Tentang pohon tua di tepi sungai, ia Willow kelabu

Menurut cerita orang-orang bermata abu-abu
Willow kelabu adalah jelmaan dewi Sikki dari surgaloka
Diturunkan dewa tertinggi
Dengan nyanyian merdu mendayu penghilang lara

Dan disanalah, dibalik bukit, ditepi sungai cermin
Ditemani lili sungai indah, putih dan merah
Ada lily of the valley, bleeding heart sang bunga peri dan blue bell, sungguh meriah 
tumbuh berkeliling dibawah pohon-pohn hutan seperti mngawal willow kelabu

"Turunilah bukit, susuri jalan setapak berpagar semak, temui ia." kata orang bermata abu-abu
"Jiwamu akan dijaga dari keresahan, kau akan tidur dengan tenang."
Nyanyian willow kelabu mendayu melewati hutan, pohon, semak dan rumpun-rumpun bunga
Nadanya melata kepenjuru bukit sampai ke desa sallow dibaliknya
Mememenjarakan geisah dan keburukan hati
Mengirimkan ketenangan
"Willow kelabu adalah penjaga kami." seru orang bermata abu-abu


Lalu bernyanyilah orang-orang bermata kelabu
Oh Willow kelabu Nyanyikan untuk kami sebuah lagu
Antarkan kami pada mimpi
Tentang hutan, pohon, sungai, air terjun dan musim semi

Sayukan mataku wahai Willow tua kelabu
Bius aku dengan  sihir dalam nyanyianmu
Bawa aku pergi jauh
Ke tempat tersepi dimana hanya bisa ku dengar suara pohon-pohon tumbuh

Willow kelabu akhirnya bernyanyi
Terdengar jauh, jauh dan tinggi
Mengembuskan angin penuh mimpi
Tentang hutan, pohon, sungai, air terjun dan musim semi

Pulang

Hatsyiihh!
Gilaa! Kenapa banyak debu begini? Sarang laba-laba? Lumut? Ada sarang semut di pojokan? Sarang burung? Sarang kecoa? Sarang tikus??? TIDAAAAKKKK!!

*kabur cari bantuan

20 July 2011

BLC - BETUNG


BETUNG
(Diikutkan dalam BLC)
Air dari pancuran bambu di belakang rumah berkecipak menimpa batu-batu. Sayup-sayup, suara azan dari masjid di hulu kampung terdengar diantara suara Uwar dan Tita yang sibuk dengan bambu besar yang tergeletak dekat semak-semak kemunting yang berbunga ungu.
“Bukan begitu caranya,” protes Uwar. Tangannya tak sabar ingin mengambil alih pisau seraut yang berujung runcing dari tangan Tita.
“Bang Radi buatnya begini kok,” sahut Tita acuh. Ia terus berusaha melubangi kulit tebal bambu - 5 jari jaraknya dari pangkal - dengan seraut.
“Kalau kau memegang serautnya begitu, tanganmu bisa luka,” seru Uwar was-was.
“Ah, sudahlah. Kau diam saja.”
“Titaaa!” terdengar suara bapak memanggil dari rumah. “Sholat Ashar dulu!” seru bapak mengingatkan.
“Iya, pak. Sebentar lagi,” Tita berteriak menyahut.
“Kau sholatlah. Biar aku yang melubanginya,” Uwar berusaha mengambil seraut di tangan Tita.
“Jangan. Nanti aku kalah,” Tita menepis tangan Uwar.
“Bang Radi kan lagi di rumah nenek. Dia tak akan tahu.”
“TI-DAK! Kata ibu tak boleh bohong. Nanti Tuhan marah.”
Uwar hanya bisa memandangi Tita sambil mengerucutkan bibirnya.
***

Matahari hampir tenggelam di balik hutan. Sebentar lagi maghrib. Uwar sudah pulang. Tita masih saja sibuk dengan bambunya di beranda belakang.
            “Tita,” ibu tiba-tiba muncul dari balik pintu dapur.
            “Nggg,” gumam Tita tanpa mengalihkan pandangannya dari bambu.
            “Teman-temanmu mau ke masjid. Mereka menunggu di depan,” kata ibu lagi.
            “Tita sholat di rumah saja, bu,” sahut Tita tanpa menoleh.
            “Sebentar lagi Ramadhan, lho. Allah lebih sayang pada orang yang sholat ke masjid. Ayo, ibu juga mau ke masjid.”
            Tita menghentikan pekerjaannya dengan enggan. Diletakkannya seraut. “Tita wudhu dulu,” katanya seraya bergegas menuju pancuran di belakang rumah.
***

Sepuluh hari lagi Ramadhan. Setiap Ramadhan, kampung itu akan dipenuhi bunyi letusan-letusan betung dari hampir setiap rumah. Meriam dari bambu itu memang selalu ada di bulan puasa. Selain berbuka, menyalakan betung adalah hal yang membuat Tita tak sabar menunggu bulan puasa datang.
Seminggu yang lalu, sebelum pergi ke rumah nenek, Radi menantang Tita untuk membuat betung tanpa bantuan siapapun. Kalau betung itu sudah jadi saat Radi pulang, Tita akan mendapatkan teropong bagus milik abangnya itu. Dari dulu, Ia ingin sekali memiliki teropong itu.
Mendapat teropong dan punya betung sendiri membuat Tita menerima tantangan walau ia tak tahu cara membuatnya. Uwar, satu-satunya anak dari keluarga bukan islam di kampung itu berusaha membantu. Dengan tegas Tita menolak. Ia hanya mengizinkan Uwar menemaninya. Menemaninya menggergaji bambu di hutan dan melubangi bambu itu.
Saking sibuknya dengan betung, Tita sering telat sholat, bahkan beberapa kali meninggalkan sholat. Dan malam ini, ia absen mengaji di masjid. Tita pulang duluan dengan obor di tangan, berlari sendirian meninggalkan teman-temannya yang sibuk belajar untuk ikut tadarusan bulan puasa. Ia ingin menyelesaikan betungnya yang hampir jadi.
***
Suasana sore di kampung kecil itu begitu semarak. Suara orang-orang dewasa yang sedang bermain voli di belakang sekolah terdengar riuh. Di lapangan sepakbola depan sekolah, suara anak-anak yang sedang bermain kasti, main tapok kaleng, dan main kelereng menggema sampai ke hutan yang mengelilingi kampung.
Sementara itu, di belakang sebuah rumah yang dibatasi kebun pisang, tak jauh dari sekolah, dua orang anak berkutat dengan bambu sepanjang setengah meter. Tita membawa pelita di tangannya. Uwar menyusul di belakang sambil membopong betung.
            “Di sini saja,” kata Tita sambil menunjuk dahan pohon patah yang tergeletak dekat semak kemunting di belakang rumah.
            Uwar meletakkan ujung betung di atas dahan pohon patah tadi. Ujung betung memang harus lebih tinggi dari pangkalnya agar minyak tanah yang nanti dimasukkan ke dalamnya tidak tumpah.
Tita memasukkan minyak tanah dari dalam pelita ke dalam betung melalui lubang kecil yang dengan susah payah dibuatnya. Ia menyalakan pelita. Mengambil ranting kecil di dekatnya lalu menoleh kearah Uwar.
“Kau sudah siap?”
Uwar mengangguk bersemangat.
Tita mencocol ujungranting di tangannya ke dalam minyak tanah di dalam betung. Ia bakar ujung ranting dengan api pelita lalu memasukkan ujung ranting yang menyala itu pada lubang.
Bussshh! Tak ada suara letusan. Asap keluar dari ujung betung.
“Harus pemanasan dulu,” kata Tita berusaha menghibur dirinya sendiri.
“Ya, ya,” Uwar tersenyum menyemangati.
Sekali lagi, Tita mencocol ujung ranting ke dalam minyak tanah lalu membakarnya dengan api pelita dan memasukkan ujung ranting dengan api menyala-nyala itu pada lubang betung.
Bruuuuttt! Sedikit seperti letusan. Asap masih keluar dari ujung betung.
“Horee! Tadi hampir meletus,” sorak Tia. “Kau mau mencobanya?” Tita menyorongkan ranting pada Uwar.
Uwar mengambilnya, mencocol ujung ranting pada minyak tanah, membakarnya pada api pelita lalu memasukkan ujung ranting berapi itu pada lubang.
            DUAARR!
Tita melonjak gembira saat betung itu meletus keras, menggema di penjuru hutan kecil belakang rumahnya. Berhasil! Ia berhasil membuat betung tanpa bantuan siapapun. Uwar tertawa gembira lalu mulai menyalakan api pada ranting lagi. Suara letusan lebih keras terdengar saat api pada ujung ranting itu memasuki rongga betung yang terisi minyak tanah. Tita dan Uwar bersorak- sorai gembira.
            “Aku lagi… aku lagi,” seru Tita seraya merebut ranting di tangan Uwar. Uwar menggeser tempat duduknya, memberi tempat untuk Tita.
            Buuussshh! Suara seperti knalpot mampet itu membuat Tita terperangah.
            “Kok tak ada letusan?! Tadi kan meletus,” protesnya. Dicobanya sekali lagi.
            Bruussshhh! Suara knalpot mampet lagi. Kesal, ditiup-tiupnya lubang pada betung. lalu tiba-tiba terdengar bunyi letusan keras disertai teriakan Tita.
            “Ibuuuuu!” teriak Tita menangis. Wajahnya terasa panas bukan main. Matanya juga sakit. Ia tak memperdulikan seruan-seruan panik Uwar.
            “Astaghfirullah, Titaaa,” ibu berlari tergopoh-gopoh menuju Tita. “Kenapa kamu, nak?”
            “Tita kena api betung, bik. Api dari dalam betung keluar, kena muka Tita,” Uwar berusaha menjelaskan.
            “Inilah akibatnya tidak mendengarkan omongan orang tua,” omel ibu sambil mengangkat tubuh Tita. Tangisan Tita makin keras. “Sudah. Jangan menangis lagi. Malu diliat Uwar,” kata ibu seraya membimbing Tita yang tersedu-sedu pulang.
***

Tita memandang cermin. Ada wajah dengan alis hampir tak ada di sana. Api betung itu membakar alisnya. Bekas-bekas merah juga masih terlihat di wajahnya. Diingatnya omelan ibu tadi. Omelan karena kebohongan-kebohongannya pada ibu. Ternyata, ibu tahu kalau ia meninggalkan sholat dan tidak mengaji. Ibu tahu semuanya dan menunggu. Menunggu saat yang tepat untuk membuat Tita sadar apa yang ia lakukan itu salah. Tita menatap alisnya yang hilang sambil sesenggukan. Dalam hati berjanji tak akan berbohong lagi.

4 July 2011

Fantasi Fiesta 2011: Pintu Dunia-dunia



 “Aaaaaaaaa!!” Aku bahkan bisa tuli mendengar teriakanku sendiri. Tapi rasa tuli tak sebanding dengan rasa takutku sekarang. Tubuhku terlempar dan terhempas pada dataran batu raksasa, keras dan licin. Aku mencoba mencari pegangan agar tak kembali terlempar dan terhempas pada dataran batu-batu raksasa lain yang seperti berlarian, berkejaran. Tak ada celah sama sekali untuk berpegangan. Aku telah terlempar dan terhempas entah untuk yang keberapa kali. Tubuhku sakit, suaraku hilang dan kesadaranku hampir habis. Aku mati sekarang. Aku mati.
“Ruan… Ruan…” gelap.
***
            Aku tergesa menghabiskan madu makan siangku. Lonceng dari Kubah Besar sudah berbunyi tiga kali, pertanda semua penghuni Raindell yang bertugas hari ini harus segera turun ke bawah awan untuk mengumpulkan uap. Kusesap madu terakhir lalu bergegas membuka pintu kubah putih, kamarku. Aku melompat turun ke awan terdekat, melayang mendekati kubah abu-abu berbercak-bercak hitam seperti kain bernoda.
Langit kelabu kebiruan. Sinar matahari berpendar menimpa sosok-sosok berkulit seputih awan, berambut abu-abu dan mata bulat dengan bola mata berwarna-warni terang yang keluar dari kubah-kubah berbagai ukuran dan warna yang tersebar di langit, di atas awan-awan. Mereka Raindish, makhluk hujan atau dikenal juga dengan pengumpul uap, penghuni Raindell. Mereka keluarga dan teman-temanku. Aku melompat dari awan yang tadi kutumpangi saat ia tepat berada di depan pintu kubah bernoda itu.
            “Ruan!” teriakku memanggil. Hening. “Ruan! Ketua Anuari sudah memanggil. Kita harus mengumpulkan uap!” kugedor pintu kubah. Masih diam. “Ruaaannn!” kubah itu bergoyang sedikit karena tendangan kerasku di pintunya.
            Terdengar bunyi krasak-krusuk di dalam kubah. Beberapa detik kemudian, muncul seorang anak laki-laki bermata biru. Mulut cemongnya masih mengunyah-ngunyah.
            “Eheh. Mahaf, Phul. Haku edhang mhakhan.” ia keluar kubah dan menutup pintu tergesa-gesa.
            “Selalu saja terlambat.” omelku. Ia memberiku cengiran lebar dan kerjapan-kerjapan mata. Kalau sudah begitu, mau tak mau kesalku menguap. Kutoyor kepalanya, “Jangan sok polos begitulah.” ia terkekeh pelan.
            Ia Ruan, sepupuku dan sahabatku. Kami selalu bersama. Agak aneh memang, mengingat setiap kali kami bersama, kami tak pernah akur. Ia selalu membuatku marah-marah. Kami selalu punya ide konyol untuk dilakukan. Sesuatu yang terkadang membahayakan bukan hanya keselamatan kami, tapi keselamatan seluruh Raindell. Yeah, kami mitra dalam kejahatan.
            Aku seringkali mengingkari hal ini, berfikir kalau aku ini adalah malaikat yang tak suka membuat masalah. Tapi, sekuat dan sesering apapun aku mengingkarinya, pada akhirnya aku menemukan kami berdua sama saja. Pembuat masalah.
            Dan sekarang, kami di sini, melayang-layang di bawah awan, menunggu uap-uap yang ditiup naik oleh para Poirish di lautan. Uap yang harus kami angkut naik ke atas awan di bawah kubah-kubah kami agar nanti turun kembali menjadi hujan. Kami memang harus mengangkut uap-uap itu karena ada semacam lapisan udara di bawah awan yang tak tertembus uap.
Kau tahu apa akibatnya kalau kami tak mengangkut uap-uap ini kan? Tak ada hujan. Kalau tak ada hujan, daratan akan kekeringan. Sahabat-sahabat kami, semua makhluk penghuni daratan akan menderita dan mungkin saja, mati. Hujan begitu penting dan tugas kamipun menjadi maha penting.
            “Hai, Plur, Ruan.” seorang anak lelaki seumuran kami melayang di sampingku, menyunggingkan senyum lebarnya. Mata oranye-nya berbinar-binar. Han, teman sekelas kami.
            “Hai, Han.” Aku dan Ruang menyahut kompak.
            “Gembira sekali, Han?” tanya Ruan.
            “Kami akan ke daratan setelah mengumpulkan uap. Ada pesta besar di sana.” jawab Han riang.
            “Pesta besar? Semua makhluk berkumpul?” tanya Ruan lagi.
            “Ya. Kalian ikut?”
            Ruan menoleh kearahku, meminta persetujuan. Pesta? Aku suka pesta. Menari-nari turun bergelayutan pada titik  hujan, lalu menari lagi bersama sahabat-sahabat kami di daratan, melompat dan berdansa di hutan atau padang rumput atau sungai atau lautan. Aku ingin pergi tapi kami ada kelas tambahan setelah mengumpulkan uap. Bukan untukku sebenarnya.
            “Kau ada kelas tambahan bahasa Rune, Ruan.” seruku mengingatkan. “Dan jangan merayuku untuk tak mengajarmu hari ini dengan tatapan memohonmu yang sok polos itu.” seruku lagi sambil bersiap-siap menangkap awan yang telah kelihatan melayang bergerombol di bawah.
            Ruan cengengesan. “Lain kali saja, Han.”
            Han mengangkat bahu. “Selamat bekerja, Ruan, Plur.” katanya sambil menangkap uap yang telah datang.
            “Selamat bekerja, Han.”
***

            Aku menekan pensilku kuat-kuat pada kertas di depanku. Kuacak kertas itu dengan coretan horisontal lalu vertikal, horisontal dan vertikal, terus begitu berulang-ulang sampai kertas putih itu menghitam dan robek. Aku kesal dan bosan. Sepuluh hari terkurung dalam kubah sudah lebih dari cukup untuk membuat kekesalanku memuncak. Kesal karena iri melihat teman-temanku bebas berlarian di luar sana. Aku tak suka terkurung.
Kuremas kertas malang itu lalu kulempar kuat-kuat ketumpukan buku yang terserak di lantai. Remasan kertas itu memantul sekali sebelum  tergeletak di atas buku bersampul hitam seukuran telapak tanganku.
Aku melangkah mengambil buku itu. Kertas berkeresek dengan nada cepat saat kubuka lembaran-lembarannya dengan tergesa. Saat kutemukan halaman yang kucari, kutulis kata GAGAL besar-besar disamping kalimat “melubangi lapisan udara”. Kutekan pensilku kuat-kuat, menyalurkan kekesalanku sekali lagi. Wajar kalau aku kesal karena ide “melubangi lapisan udara”lah yang membuatku harus dipenjara dalam kubahku sendiri.
“Kita tak perlu cape-cape mengumpulkan uap kalau lapisan udara itu bolong. Uap akan sampai ke awan dengan sendirinya.” begitu kata Ruan waktu itu. Dan dengan konyolnya, aku mencetuskan ide untuk menggunakan Penyedot Bintang. Penyedot yang diciptakan oleh ketua Anuari untuk menarik bintang-bintang lebih dekat dengan kubah-kubah Raindell.
Dan begitulah, kami berhasil mengangkut Penyedot Bintang itu dari Kubah Besar lalu membawanya ke bawah lapisan udara, agak jauh dari kubah-kubah Raindell. Saat kami gunakan alat itu, kami terbeliak melihat kubah-kubah Raindell melesat cepat, tertarik ke arah Penyedot, lalu bertabrakan satu sama lain. Kacau sekali waktu itu. Banyak kubah yang rusak. Aku dan Ruan pucat. Kami tahu, kami sudah membuat masalah besar. Kesoktahuan kami kali ini membahayakan Raindell. Untung saja tak ada yang terluka parah. Akhirnya, kami dihukum kurung dua minggu.
Aku mendengus marah saat ingat hukuman yang diberikan padaku. Aku dikurung dua minggu sementara Ruan hanya seminggu. “Benar-benar tak adil.” desisku marah. Kenapa ketua Anuari memberi hukuman lebih ringan pada Ruan padahal kami melakukan kesalahan yang sama?! Ah, harusnya aku sudah tahu jawabannya. Wajah polos tak berdosa milik Ruanlah penyebabnya. Ketua Anuari pasti tak tahan melihat tatapan dan ekspresi malaikat Ruan.
            “Penjahat berwajah malaikat.” Aku kembali menekan pensilku kuat-kuat.
***

Bunyi ketukan membangunkanku. Kugosok mataku. Menguap. Kuseret langkahku menuju pintu. Kubuka pintu kubahku. Tak ada siapa-siapa. Sinar bulan menimpa wajahku saat aku melongok keluar. Sudah malam rupanya.
            “Plur. Pssstt…” ada suara dibalik awan besar putih yang melayang pelan disamping kubahku. Sebuah tangan melambai.
            “Siapa?” tanyaku serak.
            “Ruan. Cepat kesini.” Oh, dia. Panjang sekali umurnya. Aku tak perlu mencarinya untuk menumpahkan kekesalanku. Kekesalan karena mendapat hukuman lebih banyak karena ide konyolnya dan kekesalan karena ia bersenang-senang sementara aku menjalankan hukuman.
Sekali lagi tangan itu melambai. Aku menoleh ke semua arah. Memeriksa keadaan. Hukumanku belum selesai. Kalau ada yang melihat dan melaporkan pada ketua Anuari, aku bisa dapat hukuman tambahan. Waktu makan malam memberiku kesempatan. Sepi. Penghuni Raindell sedang menikmati makan malamnya didalam kubah. Aku melompat kearah awan besar.
            Kulihat rambut abu-abu gondrong sebahu yang melayang-layang tertiup angin malam. “Kau, eh? Mau apa kau?” aku melipat kedua tanganku didada, menatapnya sinis.
            Ruan mengeluarkan cengiran kudanya. Membuatku kesal. Nyata sekali ia bahagia bisa bebas, tak terkurung dalam kubah selama  dua minggu penuh sepertiku. “Hai, Plur. Kau baik-baik saja?”
            “Apa aku terlihat baik-baik saja?!!”
            Ruan memeriksaku dengan matanya, dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Hmm... kelihatannya kau baik-baik saja.”
            Aku mendelik. “Aku mau pulang.” aku berbalik.
            “Hei, aku ingin menunjukkan sesuatu.”
            “Aku sedang tak ingin ditunjukkan sesuatu apapun olehmu sekarang.” desisku seraya berjalan keluar dari awan.
            “Aku menemukan Pintu Dunia-dunia.”
            Aku berhenti, berbalik dan mengangkat alisku. Aku tahu Ruan selalu membuat masalah tapi ia bukan pembohong. Pintu Dunia-dunia? Pintu itu semacam obsesi terbesar kami.
            “Kurasa aku melihatnya tadi malam.” mata Ruan bersinar penuh semangat. “Kau mau memeriksanya bersamaku?”
            Aku berpura-pura berfikir sebentar. ”Baiklah. Mencari udara sebentar tak akan masalah kurasa.”
***

            “Itu.” Ruan menunjuk awan kecil abu-abu seperti  ikan koki gendut yang melayang diudara, tak bergerak. Sinar bulan yang terang benderang seolah terserap habis kedalamnya dan tak terpantul lagi, membuatnya tak terlalu kelihatan.
            Dahiku berlipat. “Tunggu. Kau bercanda? Jangan membuatku kesal lagi!”
            “Tidak. Ini Pintunya.” Ruan kelihatan serius.
“Ini cuma awan.” nada suaraku agak meninggi.
 “Yeaaahh…” Ruan mengangkat bahunya. “Aku tahu, tapi… aku melihat sesuatu seperti pintu muncul dari awan ini tadi malam. Kau tahu, awan ini aneh. Ia tak bergerak kemanapun. Ia tetap disini. Aku mencoba mencari pintu itu lagi tadi…”
“Kau menemukannya?”
“Oh, eh, tidak. Tapi itu mungkin karena aku salah memperhitungkan, errr, kapan pintu itu akan terlihat.” Ruan mengangkat bahunya lagi. “Tapi aku sudah menganalisa dan aku sudah mendapatkan kapan pintu Dunia-dunia akan muncul.” lanjutnya cepat.
Aku mengangkat satu alisku, menginginkan penjelasan lanjutan.
“Pintu-pintu dunia akan terlihat saat bulan purnama tepat di atas kepala kita.”
Aku mendengus.
“Kau pernah dengar dongeng kuno yang bilang kalau makhluk langit akan turun dibulan purnama kan? Makhluk langit yang menjaga pintu itu akan turun saat bulan purnama ada diatas kepala kita, melakukan tugasnya, menjaga Pintu Dunia-dunia.”
Aku mengerang. “ Itu hanya dongeng.”
“Kita buktikan saja. Bagaimana? Kalau kita menemukan pintu Dunia-dunia itu, bukankah itu keren?”
Ruan telah menyentuh titik lemahku. “Penemu Pintu Dunia-dunia. Wow! Itu kedengaran sangat keren.” fikirku. “Baiklah. Kita lihat saja apakah itu Pintu Dunia-dunia atau bukan. Kalau bukan, kau harus merelakan jatah makanmu selama seminggu untukku.”
“Baiklah.” sahut Ruan, menang. Oh, yeah. Aku memang lemah dengan pujian.
***

            Aku merasakan tubuhku terguncang-guncang. Aku menggeliat. Dingin. Aku mengigil. Kubuka mataku perlahan, mengerjap-ngerjap berusaha mengumpulkan kesadaran. Dimana kubahku? Kenapa aku tidur diluar, melayang-layang diudara? Kulihat Ruan disampingku. Tidur.
                        Aku ingat sekarang. Aku dan Ruan sedang menunggu bulan purnama memunculkan Pintu Dunia-dunia. Aku menguap. Bulan purnama begitu benderang. Tunggu? Aku bangun tergesa. Bulan purnama tepat diatas kepalaku sekarang.
 “Ruan!” Ruan tersentak mendengar jeritanku. Setengah sadar, ia mencelat bangun dan mengikuti arah telunjukku.  Disana, ada pintu bulat, jernih seperti air telaga. Daun pintunya seperti air yang beriak-riak halus ditiup angin sepoi-sepoi. Pintu itu seperti permukaan sumur dangkal berair sangat jernih. Pendar-pendar cahaya bulan purnama bergerak-gerak diatasnya.
Dikedua sisi pintu, berjaga dua makhluk seperti burung rajawali putih raksasa, dengan sayap besar putih berkilau tertimpa cahaya bulan, dua kaki besar dan kekar dengan cakar yang kelihatan tajam serta wajah serigala menyeringai bengis. Mereka Anctir, makhluk langit, sang penjaga Pintu Dunia-dunia. Mereka diam tak bergerak, tapi sinar matanya siaga.
            “Pintu Dunia-dunia.” suara Ruan tercekat tertahan. Wajahnya terlihat gembira. Aku gembira sekaligus ngeri. Gembira karena menemukan obsesiku sejak beberapa tahun yang lalu dan ngeri melihat sang penjaga. Aku ingin tersenyum, tapi yang keluar malah ringisan. Ruan berjalan mendekati pintu, tak menghiraukan sama sekali sang penjaga yang terlihat siap membunuh siapa saja yang berani mendekati benda yang mereka jaga.
            “Ruan.” aku menarik bajunya. Sekuat tenaga aku menariknya kembali, jauh dari Pintu dan penjaganya. Tapi yang terjadi, aku malah terseret mendekat mengikuti langkah Ruan. Apa yang terjadi?
“Ruan masih tidur.” fikirku panik. “Ruaann! Ruaann!” Aku memukul-mukul bahunya sambil tetap berjalan terseret mengikuti. Ruan tak peduli. Kurasa ia bermimpi. Kupukul lagi bahunya, mencoba menyadarkannya. Ruan masih seperti tak merasakan pukulan itu. Ia berjalan semakin cepat dan sekarang sudah sangat dekat dengan Pintu. Dua bayangan anak berkulit seputih awan dengan rambut abu-abu terlihat jelas dalam riak-riak dipermukaan daun pintu. Kulihat ada sepasang mata kuning bunga Matahari disana.
Mataku, menatap cemas bayangan lain dengan mata biru yang berbinar-binar bahagia. Aku menoleh kearah dua penjaga. Aneh. Mereka masih diam padahal kami bahkan sudah bisa menyentuh Pintu dengan tangan kami. Kupererat peganganku pada baju Ruan. Degup jantungku bahkan bisa kudengar dengan jelas. Tak kualihkan pandangan dari dua penjaga. Ruan telah berhenti melangkah sekarang. Dan penjaga itu masih diam. Benar-benar diam.
            “Ruan.” aku mengguncang tubuh Ruan. “Ruan.” kuguncang lebih keras.
            “Indah kan, Plur?”
            Aku mendelik. Tak sadarkah ia ada dua makhluk raksasa yang bisa memakan kami berdua sekali telan? “Ruan. Penjaga itu.” aku mengguncang badannya lagi.
            “Penjaga apa?” belum sempat aku menjawab, Ruan menjerit sekencang-kencangnya dan melompat tinggi sampai tubuhku yang sedari tadi menempel padanya terpental.
“Aaaaa!!” oh tidak! Aku terpental kearah salah satu penjaga! Aku akan masuk kedalam mulut Anctir bengis itu. Aku menggigil melihat seringaian yang semakin lebar. Taring-taring itu bergerak membuka. Aku sebentar lagi akan mati. Maafkan aku ayah, ibu, ketua Anuari.
***

            “Plur… Plur… “ suara Ruan. Apakah ia juga dimakan Anctir? Apakah kami berdua telah ada disurga sekarang? Tak terlalu buruk kalau begitu. Setidaknya, aku punya teman. “Plur, bangun.” Tubuhku duguncang-guncang. Aku membuka mataku sedikit-sedikit. Kulihat muka Ruan yang menunduk memandangiku.
            “Apakah kita ada di surga?”
            Ruan tertawa keras mendengar pertanyaanku. “Ya. Kita ada di surga. Bangunlah kalau kau mau melihat surga.” Ia bangkit berdiri dan menarikku bangun. “Itu pintu surga. Mau masuk?”
            Pintu itu. Pintu Dunia-dunia. Awan kecil abu-abu ada dibawahnya. Sang penjaga masih ada dikedua sisinya. Kulihat sekeliling. Bulan purnama bersinar-sinar diatas langit. Awan-awan putih dan kelabu melayang-layang. Kuhentakkan kakiku. Udara ini masih sama. “Apakah surga sebegitu miripnya dengan Raindell?” tanyaku lagi.
            Ruan kembali tertawa. “Kau masih di Raindell, Plur. Makhluk itu cuma, aduh, entahlah akupun belum tahu apakah ia cuma pantulan cahaya bulan atau apa. Yang pasti, ia tidak hidup. Maaf soal tadi.” Ruan nyengir kuda.
            Aku meringis.  Lalu melangkah mendekati pintu, diikuti Ruan. Lagi, bayangan kami bergoyang-goyang dipermukaan Pintu.
            “Ayo kita masuk.” seru Ruan bersemangat.
            Aku melotot. “Kau tak sedang berfikir konyol lagi, kan? Kita tak tahu kemana Pintu ini akan mengantar kita.”
            “Oh, ayolah. Apa gunanya kita temukan Pintu ini kalau kita tak memasukinya.”
“Aku tak mau.”
“Ayolah. Kau kan tahu aku tak bisa pergi tanpamu.” Ruan memegang tanganku, menatapku seperti anak kecil meminta tolong. Cukup sudah. Wajah memohon itu takkan mempan sekarang.
“Kau kan menemukan pintu ini sendirian. Sekarang kau juga bisa pergi sendirian.”
“Itu karena kau sedang dihukum. Dan aku tak sengaja menemukannya.”
“Oh yeah. Benar. Tapi kau ingat, aku dihukum karena mengikuti ide konyolmu. Membolongi lapisan udara? Heh! Dan aku belum menyelesaikan hukumanku. Aku tak…”
“Kau takut bertualang sekarang?”
            Aku membuka mulutku. Apa?! Dia bilang… “Ayo. Kita masuk!” aku tak sudi dibilang penakut!
***

Tubuh kami meluncur deras dalam kegelapan. Sensasinya tak nyaman. Aku merasa tubuhku tersedot, berputar-putar cepat dalam sebuah terowongan. Kepalaku pusing dan pegangan tangan Ruan terlepas.
            “Aaaa!” aku terkesiap mendengar teriakan itu. Jantungku berdetak cepat. Ruan! Aku belum sempat memikirkan apa yang terjadi pada Ruan saat sedotan terowongan berhenti dan berganti menjadi udara panas yang aneh.
“Aaaaaaaaa!!” Aku bahkan bisa tuli mendengar teriakanku sendiri. Tapi rasa tuli tak sebanding dengan rasa takutku sekarang. Tubuhku terlempar dan terhempas pada dataran batu raksasa, keras dan licin. Aku mencoba mencari pegangan agar tak kembali terlempar dan terhempas pada dataran batu-batu raksasa lain yang entah seperti berlarian, berkejaran. Tak ada celah sama sekali untuk berpegangan. Aku telah terlempar dan terhempas entah untuk keberapa kali. Yang pasti tubuhku sakit, suaraku hilang dan kesadaranku hampir habis. Aku mati sekarang. Aku mati.
“Ruan… Ruan…” gelap.
***

            Aku ingin menangis, tapi tak bisa. Aku memang tak pernah menangis. Tapi sekarang, rasa sedih dan putus asa mencengkeram kuat hatiku. Aku takkan sesedih dan seputus asa ini kalau saja aku tak berpisah dengan Ruan. Aku belum pernah menghadapi kejadian apapun sendirian. Dan sekarang, aku terdampar didunia asing yang belum pernah kupelajari dibuku sekalipun, tanpa Ruan.
Dunia apa ini? Kemana Pintu Dunia-dunia menjerumuskan kami? Aku tak tahu. Kugerakkan badanku. Sakit. Batu-batu raksasa  itu hampir meremukkan badanku. Akupun tak tahu kenapa aku masih hidup. Saat bangun, aku hanya melihat kegelapan. Dan sudah beberapa lamanya aku tak beranjak dari kegelapan yang pekat itu. Tunggu, ada suara. Ada cahaya. Aku beringsut pelan, berusaha tak membuat suara sekecil apapun. Aku mengintip, tapi tak ada siapapun atau apapun. Hanya cahaya yang entah muncul darimana.
Aku tercekat saat mendengar geraman. Aku beringsut masuk agak jauh kedalam kegelapan. Oh tidak! Geraman itu terdengar lebih keras. Cahaya semakin menyebar bahkan menerangi tempat persembunyianku. Jantungku memukul-mukul dengan keras saat terdengar langkah berat dan kasar mendekati tempat persembunyianku. Sebuah bayangan sangat besar tercetak didepanku. Besar dan bertanduk. Raksasa?!
Aku tak bisa bergerak kemanapun karena tempat persembunyianku itu seperti sebuah kotak yang terbalik dan hanya terbuka dibagian dimana raksasa itu sekarang berada. Raksasa itu berhenti melangkah tepat didepan kotak persembunyianku. Ia menggeram sangat keras sampai jantungku serasa akan melompat-lompat keluar dari tubuhku. Lalu ia menunduk memeriksa kotak. Aku tahu ia sudah melihatku. Aku bisa merasakan nafasnya yang panas sekarang. Ia mendengus didepan mukaku lalu menggeram keras.
            “Aaaaaa!” jeritanku keluar tanpa bisa kukendalikan. Aku menjerit sekuat-kuatnya sampai kepalaku sakit.
            “Hei, nak.” raksasa itu memanggilku “nak”? Aku mendengarnya dan berhenti berteriak.
            “Jangan makan aku.” Suaraku bergetar memohon.
            “Siapa yang akan memakanmu?”
Tunggu. Suara itu. Aku kenal suara itu. Kubuka mataku. “Ketua Anuari!”
            “Kau melarikan diri dari hukumanmu, eh?” tanyanya. Aku gelagapan. “Baiklah. Mungkin kau bisa menjelaskan sambil berjalan. Sahabatmu sudah menunggu.” ia menarikku bangkit. Aku berdiri, masih gemetar, lalu berjalan mengikutinya.
***
            “Jadi ini dunia Asing?”
            “Kau berbicara aneh, nak. Ini Raindell dan sekarang kau sedang ada di taman rekreasi milikku. Belum jadi, tapi sebentar lagi akan selesai.”
            “Taman rekreasi?”
            “Ya. Aku fikir, anak-anak sepertimu perlu taman rekreasi dan merasakan dunia Asing yang pernah kulihat dulu lewat taman ini. Karena kau tahu, Pintu Dunia-dunia sudah tak ada lagi. Pintu itu hanya bisa ditemukan sekali. Jadi kubuat taman yang isinya hampir sama seperti Bumi tempatku pergi beberapa puluh tahun yang lalu. Itu mobil. Fungsinya sama seperti awan di negeri kita.” Ia melambaikan tangannya pada  benda berbentuk kotak. Ada dua mata yang bersinar-sinar didepannya.
“Aku kira anda tadi raksasa.” kataku sambil mengamati dua mata yang bersinar itu.
“Raksasa? Itu hanya bayanganku.” Ketua Anuari tertawa. “Kau mau naik mobil bersamaku? Kita jemput Ruan diujung taman sana.”
            Aku masuk lewat pintu yang dibuka ketua Anuari untukku. Otakku penuh dengan pertanyaan. “Jadi yang didepan itu bukan pintu dunia-dunia?”
            “ Itu hanya replika. Kubuat agar anak-anak Raindell juga bisa merasakan Pintu ajaib itu.”
            “Bagaimana anda membuatnya?”
            “Mudah saja bagiku, nak. Kau akan mengerti setelah kau dewasa.”
            Masih banyak pertanyaan dalam otakku ketika kotak, eh, bukan, apa namanya tadi, sudah berjalan cukup jauh mengelilingi taman. Lalu kulihat rambut abu-abu gondrong sebahu didepan sana. Ia sedang makan dengan lahap menoleh seketika saat sinar mata kotak itu menyorotinya. Aku membuka pintu tak sabar.
            “Ruan!”
            “Hai, Plur. Kita tak jadi menemukan Pintu Dunia-dunia. Maafkan aku.”
            Aku tak menjawab. Kurebut makanan ditangannya. “Dan jatah makananmu selama seminggu harus kau serahkan padaku.” kami tertawa bersamaan.
            “Dan ingat, nak. Jangan memikirkan ide konyol lagi dalam waktu dekat ini dan jangan kabur dari hukumanmu”.
            Aku dan Ruan berpandangan.
“Tapi kali ini kumaafkan.” kata Ketua Anuari sebelum kami sempat berkata apa-apa. Kami bertiga tertawa bersama.


The End