28 November 2011

Peran Guru dalam Mencerdaskan Bangsa


Kebanyakan anak kecil, kalau ditanya mau jadi apa, jawabnya pasti jadi dokter, pilot, tentara, polisi atau yang lagi ngetrend sekarang, jadi Spiderman! :D Kenapa? Itu sebenarnya jadi pertanyaannya saya sedari dulu. Menurut otak saya yang seringkali over dosis dalam hal sotoynya ini, satu-satunya alasan kenapa kebanyakan anak tak bercita-cita jadi guru adalah karena guru itu tak sekeren Spiderman! Wah, adik-adik kecil itu pasti belum tahu kalau guru dan Spiderman itu sebenarnya sama. Sama-sama pahlawan super dan pastinya juga sama-sama keren, seperti saya. :D
Pak guru Spidey yang ngganteng baru pulang ngajar. :D
Fotonya saya ambil dari sini
Saya sebenarnya ingin menulis tentang Spiderman di sini. Saya ingin membandingkan si manusia laba-laba yang jago memanjat gedung itu dengan manusia biasa bernama guru yang tidak bisa mengeluarkan jaring laba-laba dari ujung jarinya. Secara, mereka kan sama-sama pahlawan super. Tapi sudahlah. Saya takut tulisan ini akan jadi OOT alias out of topic kalau saya memaksakan kehendak.
Baiklah, saya akan serius. Pertama-tama, saya diwajibkan untuk menjawab pertanyaan bagaimana peran guru dalam mencerdaskan bangsa. Saya bahas dulu tentang kecerdasan. Menurut para ahli, ada empat jenis kecerdasan. Yang pertama kali ditemukan adalah kecerdasan intelektual. Kecerdasan ini ditemukan oleh William Stern pada tahun 1912. Pada masa itu bahkan sampai sekarang juga masih, kecerdasan intelektual dianggap sebagai penentu berkualitas atau tidaknya seseorang.
Yang kedua adalah kecerdasan emosional. Istilah  kecerdasan emosional digunakan pertamakali oleh Wayne Payne pada tahun 1985 yang kemudian dipopulerkan oleh Daniel Goleman pada tahun 1995. Kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk memahami suatu kondisi perasaan seseorang, terhadap diri sendiri ataupun orang lain. Kecerdasan emosional ini diungkapkan dengan take a walk in another person’s shoes. Mohon jangan salah artikan kalimat berbahasa Inggris tersebut dengan selalu meminjam sepatu teman kalau mau pergi jalan-jalan. :D
Next, ada kecerdasan spiritual. Kecerdasan ini digagas oleh Danar Zohar dan Ian Marshall. Menurut Zohar dan Marshall (2001) kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup orang lebih bermakna dibandingkan orang lain. Kecerdasan spiritual memberi kita kemampuan membedakan mana yang benar dan mana yang tidak.
Yang terakhir adalah kecerdasan sosial. Istilah kecerdasan sosial pertamakali diperkenalkan oleh E. L. Thorndike pada tahun 1920 untuk menggambarkan keterampilan dalam memahami dan mengatur orang lain. Daniel Goleman (2007) mengungkapkan kecerdasan sosial ini terdiri atas dua hal, apa yang kita rasakan tentang orang lain (berhubungan erat dengan kecerdasan emosional) dan apa yang kemudian kita lakukan setelah kita merasakan perasaan orang lain itu.
Lalu, sebegitu pentingkah memiliki empat jenis kecerdasan itu? Penting karena keempat-empatnya saling mendukung untuk menjadikan seseorang berkualitas super. Kecerdasan intelektual diperlukan untuk kreasi dan inovasi, kecerdasan emosional untuk kepercayaan diri, kecerdasan spiritual untuk iman dan moral serta kecerdasan sosial diperlukan untuk kepedulian dan kasih sayang pada sesama.
Oleh karena itu, tugas guru akhirnya bukan hanya sekedar mengajar dan mentransfer ilmu-ilmu akademik kepada murid-muridnya tetapi juga harus membimbing dan mengayomi serta memberi teladan yang baik karena guru yang baik akan menghasilkan murid yang baik pula. Seorang guru dituntut tak hanya jadi seorang pengajar, tapi juga pendidik, orang tua, penasihat sekaligus motivator yang bertugas membentuk manusia berkarakter baik yang kreatif dan inovatif, percaya diri, bermoral dan peduli pada sesama. Pembentukan ini tak bisa jadi dalam waktu singkat, tapi memerlukan proses panjang yang terkadang menguras begitu banyak energi. Proses panjang ini juga harus dilakukan secara kontinyu dan memerlukan kerjasama yang baik antar semua pihak terkait: guru dan orang tua.
Dari paparan super serius dan super sederhana di atas, saya menarik kesimpulan bahwa tugas mencerdaskan itu tidaklah gampang. Perlu keahlian yang membutuhkan kecerdasan dan juga kesabaran (itulah kenapa saya samakan guru itu dengan Spiderman. Spiderman punya kekuatan super, guru punya kesabaran super. Wekeke). Membentuk sesuatu menjadi produk berkualitas bagus kan memang tak semudah membalikkan telapak tangan.
Ketidakgampangan tugas guru pernah membuat saya memilih untuk menjauh. Ketika akhirnya saya mencoba mengajar anak-anak pada sebuah bimbel, saya merasa saya mulai menyenangi aktivitas mengajar. Saya senang melihat keriangan mereka. Saya bahagia melihat perilaku mereka yang seringkali konyol (mungkin karena gurunya juga konyol). Saya bahagia dan hanya karena itulah saya memilih menjadi guru, hanya karena saya bahagia bisa bersama-sama murid saya. Walaupun saya akui, rasa ingin menjauh terkadang datang, saya berusaha untuk tetap tinggal dan melakukan sesuatu untuk menjadikan diri saya lebih baik dalam menjalankan peran saya.
Berbicara lagi tentang peran guru. Untuk mencerdaskan bangsa, seorang guru tak hanya bisa melakukannya di sekolah tetapi juga bisa lewat blog seperti yang dilakukan oleh http://wijayalabs.com. Sayang kalau teknologi yang sudah sedemikian canggih tak dipergunakan sebaik-baiknya untuk membantu tugas berat tapi keren itu. Selain berbagi pengetahuan dengan murid, blog juga bisa digunakan untuk berbagi pengalaman dengan rekan-rekan sesama guru guna mencari solusi-solusi yang tepat untuk memecahkan permasalahan-permasalahan di kelas, tak terkotak oleh area dan waktu. Mari kita menjadi guru cerdas yang mengajar dan mendidik dengan cara cerdas agar menghasilkan murid-murid cerdas demi membangun sebuah bangsa yang cerdas. Hidup guru!


No comments:

Post a Comment