12 June 2011

Ramadhan di Surga


Bunyi benda bergetar-getar didekat telingaku membuatku terkesiap bangun. Ada sms masuk. Tengah malam?
              “Kurang kerjaan banget, sih?!” sungutku. Dengan malas, kuambil handphone yang masih bergetar-getar. Dari adikku. Aku mendesah kesal karena tidurku terganggu. Dengan mata setengah terpejam dan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul, kucoba membaca smsnya.

Kak, bpk RS. Ga ush khawatir, bpk baik2 ja. Kk tak perlu plg.Udh y.
Sender: 3rd Balis
+6285678910111
Message center: +62816124
Sent: 01:20:21 am
Dalam hitungan milidetik, saraf mataku mengirimkan sinyal ke otakku, lalu menendang saraf otak bagian emosiku dengan sangat keras. Menerajang pintunya sampai terpelanting-pelanting, bergetar-getar ddisudut ruangan, lalu diam dalam keadaan sangat penyok. Aku cemas. Sangat cemas. Nyawaku terkumpul segera. Bergegas, kuhela selimut lalu berjalan tergesa menuju kamar mandi. Wudhu. Aku ingin meminta kepada Dia Sang Pemilik Dunia untuk menjaga bapak, melindunginya.

Kutatap sosok yang terbaring dengan beberapa selang ditubuhnya. Sosok itu, bapakku, terbaring lemah diruang ICU dengan alat monitor yang berbunyi teratur tit-tit-tit. Aku benci alat itu! Ia seperti hakim yang kapan saja bisa mengetok palu keputusannya atas bapakku dengan cara menjerit panjang. Kuhapus airmataku, melanjutkan membaca Al Qur’an yang tulisannya kelihatan kabur sekarang.
Teringat lagi adegan tadi siang, saat aku menangis setelah mengeluarkan bentakan tertahan pada mamakku.
              “Pamitlah, kak. Pamit sama bapak. Ucapkan maaf dan terimkasih padanya.” Aku tak melihat wajah mamakku tapi aku tahu ia menangis, tanpa suara.
              “Ga mau!” seruanku tercekat dikerongkongan. Wajahku seketika basah mendengar kata-kata mamak yang terdengar pesimis.
              “ Bapak takkan bisa bertahan, kak. Keadaan bapak makin buruk. Pamitlah sebelum terlambat.”
              “AKU GA MAU!!!” bentakanku tertahan tangis. Aku berlari keluar. Aku tak mau memberikan ucapan itu. Tidak! Aku takkan menyerah! Bapak akan sembuh dan aku akan menikmati Ramadhan ini bersamanya. Bapak akan sembuh. Aku tak perlu mengucapkan selamat jalan padanya.


Aku terlonjak kaget ketika nama bapakku sayup-sayup  diterima saraf telingaku. Mamak meloncat berdiri dan berlari masuk ruangan ICU mengikuti perawat yang barusan memanggil. Aku menyusul dengan perasaan yang sangat tak nyaman. Jantungku serasa balon yang diisi udara dengan paksa sampai mau meledak. Saat aku masuk, kudengar jeritan mama, memanggil bapak berkali-kali, memintanya bangun. Bapak bergeming. Mamak histeris. Diguncang-guncangnya tubuh bapak sambil meraung. Dengan berlari kudatangi ia. Kutarik tubuhnya kedalam pelukanku. Kupeluk ia erat-erat sambil memintanya beristighfar. Airmataku mengalir jatuh dengan deras. Innalillahiwainnailaihiroji’un. Ya Allah, terimalah bapakku dan tempatkan ia bersama orang-orang yang beriman. Kupeluk tubuh mamakku yang tersedu-sedu lebih erat. Berusaha menenangkan dan berbagi beban. Sayup, suara azan subuh menerobos dari celah pintu ruangan ICU. Subhanallah. Bapak pergi diiringi panggilan suci itu, pada Ramadhan ketiga.


Sekarang, hari pertama ramadhan. Aku berkunjung ke rumah bapak. Kulantunkan do’a. kubersihkan rumahnya dari rumput-rumput kecil yang tumbuh. Kupandang nisan penuh rindu. Dua tahun berlalu dan rindu itu masih sama besarnya, menyelimutiku dari hari ke hari. Aku rindu melihatnya tertawa sampai keluar airmata saat ia menonton acara lawak favoritnya. Aku rindu gurauannya. Aku rindu nasi goreng buatannya. Aku rindu mencium punggung tangannya. Aku rindu dia.
Kutebarkan bunga Melati kesukaannya diatas gundukan yang sekarang menjadi rumahnya. Sambil tersenyum, aku berbisik “ Selamat menikmati ramadhan di surga, pak.”

1 comment:

  1. uuh... jd ingaat juga... :'(
    mudah2an beliau tenang disana dan dapat tempat yg paliiing terindah disisi Allah swt.
    Amiiin...
    :)

    ReplyDelete