17 November 2010

Rumah Dikaki Bukit

Dinihari berhujan, menyibak sedikit kenangan masa silam, belasan tahun yang lalu. Kenangan masa kecil didesa terpencil bernama Kedupai. Kenangan masa kanak-kanak dirumah dikaki bukit. Bukan rumah kami sebenarnya. Hanya rumah dinas yang dengan sangat memaksa kukatakan itu rumah kami. Rumahku.

Cinta yang memaksaku begitu. Cintalah yang membuatku kembali mengenang dan berniat mengabadikannya dalam catatan sejarah hidupku walaupun mungkin tak banyak orang yang akan tahu. Cintaku pada rumah  panggung sederhana berdinding papan, yang jendela tripleknya telah rusak digerus hujan , yang dinding dapurnya sebagian ditutup dengan kulit kukul (kulit kayu yang dipepat kemudian dikeringkan dan biasa dijadikan dinding rumah di uma atau ladang), sebagian lagi bolong hingga bisa kulihat Anjing yang lewat saat duduk bersama, lesehan makan siang, dengan pintu yang reot dan juga bolong, yang bernoda hitam dimana-mana karena hanya memakai pelita dan petromak untuk penerangan, yang toiletnya rusak, yang disanalah, terbentuk cerita cinta indah keluarga kami.

Masih terekam jelas, betapa "luar biasa"nya rumah "biasa" dikaki bukit ini. Halaman yang luas, pohon jambu disebelah kanan rumah (kami, empat bersaudara masing-masing punya satu pokok) yang dijadikan mamakku penyangga ayunan, pohon pepaya, kadang-kadang ada kebun sayuran, kolam untuk mandi dan mencuci yang didalamnya ada dua ekor ikan Mas, pancuran bambu yang digunakan untuk menyalurkan air ketempat mandi dan mencuci, dan yang pasti bukit dengan barisan pohon-pohon termasuk pohon Lungguk (sejenis cempedak dengan biji sebesar jari kelingking anak kecil juga dengan rasa yang berbeda. Bijinya enak dijadikan camilan semacam kuaci setelah disangrai terlebih dahulu) yang selalu menjadi tempat kami berebutan buah Lungguk masak dengan sekawanan kelasi dan monyet saat musim Lungguk berbuah.

Disebelah kiri, area kosong yang kadang-kadang ditanami pisang, membatasi rumah dengan sekolahku tercinta, kira-kira sepuluh meter jaraknya. Sekolah yang didepannya ditanami pohon-pohon akasia tempatku bersembunyi saat main tabok kaleng. Akasia-akasia ini membatasi bangunan sekolah dengan lapangan sepakbola yang luas sampai kebelakang dapur rumah kami, yang tepiannya berupa parit-parit berair dilanjutkan dengan hutan semak belukar tempat kami bermain mencari kantong semar,  mencari piding (pakis hutan), mengambil jambu monyet, dan mengambil air untuk minum dan kadang-kadang digunakan untuk tempat bersembunyi saat mantri datang, kabur karena takut disuntik. 

Ohh ya. Posisi sekolah dan rumah kami agak aneh. Seperti orang bermusuhan saja, bertolak belakang. Jadinya, bagian depan sekolahku sejajar dengan dapur kami.  Sementara bagian belakang sekolah menghadap jalan yang biasa dilalui orang-orang dikampung. Jalan biasa saja. Jalan yang berlumpur ketika hujan. Jalan tanah yang tak terlalu lebar. Diseberang jalan kecil ini terdapat lapangan voli. Jarang dipakai kami, anak-anak sekolah. Selalu dipakai orang-orang kampung setiap sore. Laki-laki dan perempuan bermain bersama. Ramai. Suara-suara teriakan memberi semangat dari pinggir lapangan ditingkahi jeritan-jeritan kami yang bermain kasti, main tabok kaleng, main guli, main gotah, main pelipis atau main tabak. Hangat sekali suasana setiap sore. Sangat terasa karena dekat dengan rumah.

Becerita dulu sedikit tentang kampungku. Kedupai mempunyai lanskap dataran yang dijaga sungai dan bukit-bukit. Dataran rendah yang tak terlalu luas dihimpit oleh sungai dan bukit atau bukit dan bukit lagi. Ia dibagi menjadi dua bagian yang dibatasi sungai kecil jernih berbatu. Indah sekali saat melongokkan pandangan kebawah. Meneliti gemericik air yang menghantam batu-batu besar. Melihat  batu-batu kecil terseret arus. Aku merasa beruntung karena pernah merasakan nikmatnya mandi disana.  Melompat dari batu kebatu. Entah berapa kali. Tak lebih dari sekali kukira karena letaknya agak jauh dari rumah . Pun mamak tak mengizinkan aku dan adik-adikku sering mandi kesitu. Mungkin karena arus yang agak deras itu berbahaya.

Dari sungai kecil berbatu ke bagian hilir, orang-orang menyebutnya "sepiak ulak". Sepiak artinya sebelah atau bagian. Ulak sama dengan hilir. Jadi, sepiak ulak itu artinya kampung bagian hilir. Rumah kami ada di sepiak ulak. Dari sungai sampai kebagian hulu disebut "sepiak ulu" atau bagian hulu kampung. Awalnya, penduduk sepiak ulu 2 kali lebih banyak dari sepiak ulak. Menjelang kepergianku dari sana, sepiak ulak berkembang, jumlah penduduknya makin bertambah.

 Kembali lagi ceritaku pada rumah dikaki bukit kami dan tetangga-tetangga dekat kami disepiak ulak. Selain rumah kami, ada lima rumah lain yang berdiri tepat dikaki bukit. Bahkan ada satu yang letaknya diatas bukit. Tapi yang ini tak perlu kuceritakan karena ini tetangga jauh. Rumah pertama berjarak kurang lebih delapan meter dari rumah kami. Rumah dinas juga yang dibagi dua, ditempati Om Syahden dan Om Bacang. Rumah dengan bahan yang sama dan desain yang hampir sama dengan rumah dinas tempat kami tinggal. Disangga oleh kaki bukit, dihiasi pohon jambu air merah yang kalau berbuah, siapapun tak akan tahan untuk tak mengambilnya. Untung saja kami tinggal dikampung. Semua berbagi. Apa yang ada tak boleh dibeli. Kalau barter itu biasa. Tapi jarang ada buah jambu air menjadi barteran. Agak keterlaluan.

Enam meter dari rumah dinas ini, berdiri rumah yak Sinai (yak berarti bibi), mamak angkat adikku yang nomor empat. Belakang rumahnya dijaga oleh tebing berwarna kuning, bagian bukit yang terdiri dari tanah kuning berbatu-batu. Disamping rumah yak Sinai, berjarak limabelas meteran, terdapat rumah kecil milik mamak dan bapak angkatku (kami lima bersaudara masing-masing punya orangtua angkat). Rumah yang sangat sederhana didiami apak Sintat dan umak Juli, adiknya, dan tujuh anggota keluarga lainnya. Dengan dapur berukuran tak lebih dari 2x2 meter, berdinding kukul, rumah utama yang ukuran 7x7 meter saja mungkin tak sampai, kecil, didiami delapan manusia. Tapi tetap saja, tiap hari senyum dan tawa tak hilang dari wajah-wajah mereka. Bagi orang kampung seperti kami, hidup sangat-sangat sederhana seperti itu sudah biasa. Kegetiran telah menjadi kawan karena kami hidup tak terlalu mengandalkan uang, tapi mengandalkan alam dan kekeluargaan.

Hanya berjarak tiga meter, ada rumah su Toni (su singkatan dari usu yang berarti paman). Tak ada yang terlalu istimewa dari rumah ini selain dindingnya yang memakai semen dan pohon mangga didepan rumah yang seringkali berbuah lebat. Dibatasi pohon buah-buahan dan pohon-pohon pinang, terdapatlah rumah panggung yang lebih tinggi dari rumah-rumah yang lain. Rumah yang dayak sekali. Kecil dan sederhana, tipikal rumah kampung Kedupai, dikelilingi pohon buah-buahan mulai dari jambu bol, jambu air, langsat, lengkeng, mangga. Ini rumah yak Ai, mamak angkat adikku yang nomor tiga.Yang paling istimewa dan paling kusuka dari bagian rumah ini adalah pancuran bambu yang mengalirkan air jernih dan dingin dari mata air diatas bukit, mengalir sepanjang waktu dibelakang rumah. Disini jugalah aku mengambil air untuk minum dan memasak dan kadang-kadang pulang dalam keadaan basah kuyup karena tak tahan menahan godaan mandi dibawah pancuran.

Itu adalah kenangan belasan tahun yang lalu. Sekarang, entah seperti apa keadaannya. Telah lama tak bersua. Kangen. Ingin kesana dan juga ingin, suatu hari nanti, dimasa depan, sekali lagi, mempunyai rumah sederhana berdinding papan, terletak dikaki bukit dengan tambahan pancuran bambu dibelakangnya yang membangunkanku tiap pagi dengan ricik-ricik air mengalir dari atas bukit jatuh menyentuh tanah dan bebatuan. Semoga.. semogaa.

No comments:

Post a Comment